Membaca Protocol Hujan




Buku ini ditulis oleh Harko Transept. Ia mengaku lahir di Palembang, 32 tahun yang lalu, dan menuliskan puisi perdananya ini dari 2006 dan menyelesaikannya 2015.
Dari waktu yang terhitung, kurang lebih Harko, atau yang kerap disapa Arco oleh kawan-kawan ini menuliskan antologi ini selama 9 tahun. Kata-kata yang dipilihnya dalam puisi ini pun cukup matang dan dewasa.
Segalanya ada dalam puisi ini. Kekecewaan, luka, harapan, dan cinta terangkum begitu asik, lembut dan penuh pesona. Ia memang pintar dalam mengambil momen tertentu lalu melumatnya dalam puisi. Tak jarang pula puisi ini terus menerus membawa kita pada satu dua hal kejadian yang sepertinya, 'dirasakan' oleh semua orang.
Tak berlebihan pula jika pada akhirnya Arco memang sudah sampai pada tingkat mencari muara kata, lalu melemparnya ke dalam Musi. Di pinggiran Musi orang-orang yang melihat kata tersebut berloncatan ingin mereguknya.
Puisi-puisi dalam antologi ini adalah kepasrahan. Tapi bukan berarti dalam hal ini ia 'cengeng', melainkan menjadi begitu kuat dan berhasil berdiri tanpa embel-embel apapun. Seperti satu puisi di bawah ini:
Sebatas Rindu, Bukan Pulang
Aku kehilangan arah pulang, sayang
Aku ingat kompas hidup di mata kakiku,
ketika empat mata angin mengantar tubuh menuju
menatapmu senanar rindu yang diabaikan waktu
mengendus aroma tubuhmu yang lelah menunggu

Pernah aku tersesat di tubuhmu
Di lekuk puisi yang kuraba sepanjang waktu
Di bibit sunyi yang kutekusuri penuh kecuo
Malam yang binal di ubikuitas
Lenguh-lenguh berhamburan

Aku ingin menetap selamanya di matamu
Penuh binar tetes air yang jatuh dari Firdaus
Lirik tak pernah khianat
Mengeja namaku sebagai doa Sa'adah dalam sepi-sepi
Mengalimatkankh sebagai sajak yang selalu kubaca

Tapi musim hujan meruntuhkan dedaunan hijau dari tanganku
Sebelum pergi, kutelusuri dadamu, matamu, tenggorokanmu
Yang kutemukan hanya moulin yang hampir jatuh di ujung lidah
Membiru, menggantung di atas ubun-ubun ku
Jika kusentuh,
jatuh doa-doa yang membeku di pasi wajahmu
Aku pulang tanpa kau
Kau hilang tanpa aku

Mungkin aku kehilangan jam pulang, sayang
Tapi aku tak lupa arah ingatan untuk merindukanmu.

Inilah puisi yang tidak cengeng itu. Puisi ini telah menjadi media yang paling dewasa mengabarkan suatu hal. Terlepas penulisnya sendiri mengangkat puisi ini mungkin dari kehidupan pribadinya: kehilangan seseorang atau kerabat yang dicintainya. Hal tersebut begitu dapat kita tarik garis lusurnya, perhatikan bait ini: Jika kusentuh// doa-doa yang membeku di pasi wajahmu// Aku pulang tanpa kau// hilang tanpa aku // yang seolah tanpa perlu paksaan, kita diajak berbicara dengan bait-bait ini.
Itulah kehebatan puisi. Dia tidak perlu cengeng dalam mengungkapkan apapun, termasuk kehilangan. Kehilangan atau pun kebahagiaan yang berhasil diurai dalam puisi, menjadi mata bahasa yang mencerahkan, atau lebih hebatnya mampu membangkitkan keterpurukan menjadi keberhasilan.
Tulisan ini, sama sekali bukan kritik. Tulisan ini hanya apresiasi kepada Arco, yang telah berhasil melalui proses dalam menggenapi dirinya dengan puisi. Ia begitu telaten memainkan emosinya: kepada pembaca seolah-olah ia ingin katakan bahwa, hidup begitu indah, walau hanya dengan sebuah kepergian. Karena di balik itu semua, pasti ada hikmahnya.
Tak salah jika Pringadi berujar di endorsment buku ini, "Harko memiliki kepekaan itu dan dalam kumpulan puisi ini, kita dapat melihat cara Harko mengadah pisaunya".
Palembang, 03:00, November 2016

Posting Komentar

0 Komentar