Senja yang menguning itu penuh. Bulat bagai purnama. Orang-orang dibaliknya berjalan lambat, lelah dan putus asa. Pasir-pasir seolah mengatakan, "kembalilah, Maroko menunggumu."
Di tempat lain, Mustapa (Abdelkader Lotfi) kesusahan. Barnya akan segera ditutup oleh otoritas pemerintahan di Maroko. Tapi, Mustapa tak kehilangan akal, ia memakai tameng Sholom (Simon Elbaz) untuk melegalkan kembali barnya dengan alasan di Bejjad, masih ada orang non-muslim yang mengkonsumsi alkohol sehingga aturan pemerintah untuk menutup bar tak dapat dilakukan.
Sholom adalah salah satu orang Israel yang masih menetap di Maroko saat komunitas mereka telah beramai-ramai pergi meninggalkan negara itu untuk kembali ke Israel. Ia merasa Maroko adalah bagian dari dirinya. Di Maroko, ia sudah memiliki apa yang dibutuhkannya. Toko elektronik, sahabat, dan kampung halaman.
Tapi, pada akhirnya dengan hati yang berat dan airmata yang membasahi wajahnya, lelaki tegar itu dengan berat meninggalkan Maroko dan pergi sesuai surat dari anaknya Rachel (Rim Shmaou).
Saat akan benar-benar pergi, ia menumpahkan kesedihannya dengan menangis di salah satu pemakaman. Ketika ia sudah selesai dengan kegalauannya, ia meninggalkan tempat itu dengan memasukkan pasir ke dalam saku celananya sebagai bentuk cinta terhadap Maroko.
Cuplikan di atas merupakan sebuah sebuah film Maroko-Kanada yang disutradarai Hassan Benjelloun, yang menceritakan gejolak di sebuah kota kecil di Maroko (Bejjad) terhadap eksodusnya orang-orang Yahudi dari daerah itu, terkhusus antara Sholom dan pemilik satu-satunya bar di kota itu, Mustapa.
Saat itu, Otoritas Islam di Maroko berkeinginan untuk menutup bar yang dimiliki Mustapa dengan berbagai cara. Mereka begitu senang mendapatkan kabar jika orang-orang Yahudi sebagian besar telah pergi. Namun, Sholom rupanya tak ingin meninggalkan kota itu. Ia bersikeras tetap tinggal dan sempat membuatnya putus asa. Sebab, Maroko baginya adalah rumah terakhir baginya.
Film berjudul Where Are You Going Mohse itu ditayangkan oleh pusat Kebudayaan Perancis IFI Jakarta, Sabtu, 18 November 2017 dan menjadi salah satu film menarik yang patut dibicarakan, baik dari segi keagamaan, persahabatan, dan hubungan cinta antara dua kebudayaan dan agama berbeda.
Seperti cinta Rachel dengan salah satu pekerja bar yang dimiliki Mustapa. Walau cuplikan percintaan mereka hanya ditampilkan sesaat saja, namun tentu meninggalkan dampak yang begitu kuat bagi penonton. Hal tersebut tak terlepas pula dari kerja keras panitia IFI, yang ingin menyampaikan perdamaian lewat film yang mereka adakan.
Film ini patut mendapatkan apresiasi sebagai sebuah suar penyebaran pesan damai yang menarik dan acap juga membawa kita tertawa, sedih, dan merasakan ternganganya perbedaan tapi selalu dapat disatukan oleh musik, sebagaimana kepergian Sholom malam itu yang bernyanyi hinga pagi dan tak lagi ada air mata di pipi. ***