Pahlawan Literasi, Mayoko Aiko Sang Motivator!




Semua orang adalah pahlawan. Semua manusia adalah seorang pejuang. Mungkin hal ini yang paling tepat untuk membicarakan makna hari pahlawan bagi saya pribadi. Pahlawan, datang dari seorang guru, teman, bos kantor, yang pernah memberikan kita gaji, hingga orang-orang yang tak sungkan membantu kita dengan tetekbengek keperluan mendesak.

Saya tak ingin membicarakan Cut Nyak Dien, Laksamana Keumalahayati, Teuku Umar, atau banyak pahlawan lainnya di Indonesia. Saya juga tak ingin membicarakan orangtua, adik, sepupu, paman, bibi dan keluarga saya. Sebab, orangtua dan keluarga besar lainnya memang sudah pasti menjadi pahlawan bagi kita.

Namun, Saya ingin membicarakan seseorang, yang dari awal keberadaan saya di Jakarta selalu mampu memberikan lampu hijau kepada saya saat orang lain lebih sering menyalakan lampu ‘merah’ untuk saya.

Dia kelahiran Wonogiri, 16 Juni 1972, salah satu kota di Jawa Tengah dengan filofosi yang sesuai dengan kehidupannya sendiri, yakni  sikap dan sifat kahutaman (keberanian dan keluhuran budi) yang terus melekat pada saya.

Ia juga seorang yang menjadi inspirasi bagi sebuah komunitas menulis, yakni Diskusi Fiksi.Menulis Fiksi.Membaca Fiksi (Universal Nikko+mayokO aikO) atau disingkat (Cendol). Dalam perjalanannya, dia telah menjadikan banyak orang lain seperti yang diinginkan.

Sebut saja, saya, yang sejak 2011 lalu masih terbata-bata dalam menulis, apalagi menulis artikel yang panjang. Namun, tangan dingin dan motivasi darinya membuat saya, setidaknya sampai hari ini terus menulis, demi kehidupan.

Dia adalah Maryoko Aiko, kami memanggilnya Ayah Aiko, atau, saya sering menyebut dengan panggilan lain, Mas Ko. Suami dari Fiferawati Aiko itu telah dikaruniai dua anak, Gabrina Aiko dan Rayga Anandito Ramadhan Aiko.

Bagi saya, ia adalah seorang yang begitu menginspirasi, terlepas penilaian orang lain. Dia bagi saya adalah Ayah kedua di Jakarta, yang terus memberikan support secara massif kepada saya. Penulis era 1990 an itu merupakan seorang motivator andal. Ia juga menjadi salah satu duta buku bagi banyak remaja yang membutuhkan bacaan di daerah-daerah.

Tulisannya yakni cerpen pada tahun 1990an banyak menghiasi majalah ibukota seperti Gadis, Hai, Anita Cemerlang, Aneka Yes, Majalah Story, dan lain-lain. Ia juga salah satu penulis novel Cinta Di Antara Dua Pria bersama penulis novel Sejarah Putra Gara.

Selain itu, ia juga salah satu Creative Director pada sebuah Adverstising Agensi dan pernah memenangkan medali emas pembuatan Print ad Bias Gender, yang kala itu diselenggarakan oleh Yayasan Galang, USAID dan Komnas Perempuan. Iklannya di stasiun televise SCTV juga membawa namanya harum dengan menyabet SCTV Award sebagai iklan terfavorit pilihan pemirsa.

Yang paling mengherankan adalah. Di sela-sela kesibukan yang begitu padat dan menyita banyak waktu, ia tak pernah surut untuk memberikan dukungan kepada kami (saat itu baru belajar nulis). Dia dengan seksama menuntun kami untuk terus mengejar cita-cita.

Tak tanggung-tanggung, saat ini Mayoko Aiko mengasuh komunitasnya hampir di seluruh daerah. Dari Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bekasi, bandung, Bali, Kalimantan, hingga ke Malaysia, Hong Kong, dan Singapura.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari sosok ini. Tanpa mengurangi hormat saya kepada sahabat lain yang juga pernah menjadi ‘pahlawan”, saya ingin mengcupkan ribuan terima kasih. Bimbingan dan lecutan dari seorang Maryoko Aiko baik secara langsung dan tidak langsung, memang begitu saya rasakan hingga saat ini.

Saya mengaku, walau pun hingga saat ini saya masih terus memperjuangkan hidup saya, tapi saya mendapatkan banyak pelajaran ‘luhur budi’ yang ditanamkan Mas Ko, bagai cahaya pagi yang tegak di balik jendela.

Artinya, pahlawan tak saja mereka yang berhasil menaklukkan penjajahan di atas bumi ini. Namun seorang pahlawan adalah mampu melawan dirinya sendiri guna membangun tangga keberhasilan untuk orang lainnya.

Jika dikatikan dengan pertanyaan siapa pahlawan literasi Indonesia, atau guru yang pantas dibangdingkan dengan Mas Ko? Mungkin saya akan memilih sosok Tjokroaminoto yang menjadi idolanya Presiden Soekarno. Kata Tjokro, penting bagi seseorang menulis di media. Hal itu pula yang menjadi inspirasi Soekarno untuk mulai menulis. Ia sering menggantikan Tjokro menulis di Oetoesan Hindia dengan nama palsu Bima.

Atau bagaimana seorang SM Kartosoewirjo yang begitu kagum dan terpesona dengan setiap pidato Tjokroaminoto, yang akhirnya membuat Kartosoewirjo memutuskan untuk manjadikan sosoknya sebagai murid dari Hadji Oemar Said Tjokroaminoto itu.

Saya kira, kawan-kawan komunitas kami juga akan sependapat dengan saya. Sebab, mereka merasakan langsung energi positif yang diberikan Mas Ko. Ia bagi 7.000 anak-anak Cendol adalah keberkahan tersendiri, yang tak dapat ditukar dengan apapun. Hingga saat ini, banyak anak-anak Cendol yang telah berhasil mencapai cita-cita mereka.

Dia telah menjadi magnet yang begitu kuat bagi orang lain. Terbukti, saat ini banyak dari kami (termasuk saya) yang telah bekerja di media. Termasuk di beberapa stasiun televisi, dari menjadi seorang reporter, penulis skenario, penulis buku, penyair, bahkan motivator. Apakah tak pantas kepahlawanan hari ini kita sematkan kepada Mas Ko?

Selamat hari pahlawan. Saya hari ini mengucapkan selamat jadi Pahlawan buat Mas Aiko, yang telah mencubit banyak dagingnya untuk diberikan kepada saya! Tabik!!!

***