Ketika
Sofyan sampai di rumahku, wajahnya babak belur. Dia datang dengan membawa wajah
yang tak karuan dan kedua matanya juga tampak membiru bekas digebuk. Bibirnya
juga masih terlihat bengkak dan menyisakan darah segar digiginya yang putih.
Melihat hal itu, tentu istriku langsung menjerit dan histeris hingga membuat
tetangga berdatangan ke rumah kami.
Istriku
melompat dari kursi duduknya seranya memegang wajah Sofyan dengan wajah kaget
luar biasa. Aku tahu mimik istriku, orang yang lembut dan tak pernah menyakiti
siapapun dalam hidupnya itu mendesis, dan heran bukan main dengan yang terjadi
terhadap adiknya.
Tanpa
peduli dengan tetangga yang sudah berkerumun di depan rumah, istriku terlihat
seperti orang gila. Baru kali ini pula aku melihatnya begitu panik laiknya
adegan sinetron. “Kenapa kau Yan? Kenapa bisa begini. Siapa yang membuatmu
hingga babak belur, Yan?” tanya dia dengan suara yang turun naik tak bisa
dikontrol.
“Masuk
dulu ke dalam. Ada tetangga. Malu juga adikmu nanti. Ayo, Sofyan. Masuk,”
kataku kepadanya.
Aku
mengerti perasaan istriku mengapa dia begitu terpukul saat melihat Sofyan babak
belur. Selain begitu besarnya rasa sayang dia terhadap adiknya, Sofyan juga
seorang anak yang lurus. Dia tak suka menganggu anak lain atau melakukan hal
bodoh yang dapat membahayakan dirinya. Itulah sebabnya kemudian Fajri, istriku
tak dapat menerima perlakuan ini.
“Ayo
cerita, Yan, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa wajahmu bisa seperti ini, Yan.
Cerita ya sama kakak,” bujuk istriku, sambil membasuh wajah Sofyan dengan kapas
beralkohol dan melepas baju sekolahnya yang berceceran darah.
***
Pada September tahun lalu, aku bertemu dengan Fajri di sebuah forum diskusi. Sebenarnya aku malas untuk datang ke acara itu. Tapi aku tak bisa menolak. Nurul, sepupuku yang begitu cerewet itu berkali-kali menghubungiku agar aku menerima perjodohan ala dirinya, dan terkesan memaksa. Saat itu Nurul mengatakan padaku perempuan yang akan dikenalkan itu sesuai dengan kriteria yang kucari dan tidak akan mengecewakan.
“Datang
saja dulu. Kalau tidak cocok, ya bubar saja, Bang. Umurmu sudah 30 tahun loh.
Tapi belum menikah. Masa kalah sama aku. Ponakanmu sudah mau tiga ini,” katanya
mengejek.
“Kau
juga tak punya adik. Apalagi kakak. Hidupmu sendiri dan kalau aku tak
mengingatkanmu, kau akan lupa daratan. Sayang ibumu. Dia sudah bosan membahas
perihal ini denganmu katanya,” labrak Nurul yang membuat aku diam tak berkutik.
Sore
itu akhirnya aku memutuskan untuk datang. Aku datang dengan harapan setelah
pertemuan itu cukup sudah Nurul mencampuri kehidupanku. Aku menilai tindakannya
telah mengganggu wilayah privasiku dan membuatku frustasi berat. Ini juga tak
bagus untuk hubungan kekeluarga antara kami.
Aku
tak suka dipaksa dengan hal yang aku tak suka. Meskipun aku tak bisa pula marah
di depan ibu saat membahas pernikahan.
Sampai
di lokasi, aku mendapatkan sebuah pesan dari suami Nurul. Dalam pesan singkat
itu, Taufik memberitahu kalau Nurul tak bisa datang kerena mengalami pendarahan
tiba-tiba dan saat itu sudah dilarikan ke rumah sakit. Dia meminta aku untuk
langsung menghubungi Fajri karena sudah menunggu di sana terlebih dulu. Dalam
pesan singkat itu, Taufik juga menyampaikan agar aku tak perlu datang karena
yang terjadi padanya hanya pendarahan biasa.
Mendengar
penjelasannya, aku segera menghubungi Fajri dan menyuruh perempuan itu agar
keluar dari tempat diskusi. Sebab, apa yang mau dibicarakan di tempat yang
seharusnya mendengarkan orang menyampaikan materi?
“Fafjri,
ya? Saya sepupunya Nurul. Idrus,” kataku memperkenalkan diri.
Sambil
berjalan ke arah salah satu restoran yang ada di daerah itu, aku juga menyampaikan
bahwa Nurul tidak bisa datang karena mengalami pendarahan.
“Hah,
apa, Bang? Bagaimana keadaan dia sekarang? Sudah di bawa ke rumah sakit? Bang
Taufik sudah tahu kejadian itu? Ke rumah sakit mana di bawa? Mending kita
jenguk sekarang. E Potallah, semoga dia baik-baik saja,” kata Fajri, yang
membuatku kaget karena tak menyangka dia secerewet itu.
“Dia
tidak apa-apa. Nurul hanya pendarahan biasa dan sudah dilarikan ke rumah sakit
umum,” kataku agar dia tak kuatir.
Itulah
awal perkenalan pertamaku dengan Fajri. Meskipun sebenarnya aku menolak
perempuan yang terlalu cerewet, tapi entah kenapa hari itu aku menjadi ambigu
sendiri dengan keputusanku. Sebab, ada hal lain yang nampak dalam diri Fajri.
Ketika
dia mengomel terkait keadaan sepupuku, aku tahu sebenarnya Fajri begitu kuatir
dengan keadaan Nurul, yang secara tak langsung memberi tanda padaku bahwa
inilah wanita yang selama ini kucari. Perhatian yang diberikan Fajri kepada
sepupuku juga menjadi sebuah penilaian lebih terhadapnya.
Sejak
saat itu. Aku sering bertukar kabar dengan Fajri.
***
Aku menikah dengan Fajri pada tanggal 7 Agustus 1998, di Banda Aceh tepat saat pemerintah pusat mencabut Daerah Operasi Militer (DOM). Saat itu kota kami diliputi kegelisahan yang mendalam. Kami merasakan begitu berat perjuangan orang tua kami untuk bisa bebas di negerinya sendiri. Konflik memang telah menghancurkan banyak fasilitas saat itu. Termasuk sekolah dan psikologi anak-anak di kota kami.
Kami
juga saat itu tak bisa berbuat apa-apa. Begitu pun saat kami misalnya lagi ada
tugas ke luar kota, maka kami juga harus ekstra hati-hati, sebab sering terjadi
razia antara kedua belah pihak yang berseteru. Baik aparat atau para
gerilyawan, semuanya merugikan kami.
Sebut
saja saat razia aparat, kami juga jadi korban. Ada yang dipukul hanya karena
salah menjawab. Ada pula yang ditendang dan diseret ke belakang bak mobil untuk
digebuk ramai-ramai karena salah menunjukkan identitas. Begitu pun sebaliknya,
meskipun kenyataannya lebih kejam para aparat itu.
Hal
itu pula yang kemudian mendorong istriku untuk membuat sebuah perjanjian
sebelum kami melangsungkan pernikahan. Fajri saat itu memintaku untuk berjanji
padanya tentang suatau hal. Saat itu, aku bertanya apa dasarnya seseorang yang
dengan niat tulus untuk menikahinya harus mengucapkan janji.
“Ada-ada
saja,” kataku ketika itu, memotong penjelasannya. Namun, saat dia mengutarakan
alasannya, hatiku terenyuh.
“Hai
Abang. Ada dasarnya kenapa Fajri minta abang berjanji. Dan janji itu sama
seperti janji Fajri kepada umi dan abu sebelum mereka meninggal. Janji Fajri
saat itu adalah menjaga Sofyan sampai dia kelak berkeluarga,” cerita istriku
saat itu.
Aku
tak mengatakan apapun saat itu. Pikiranku begitu jauh dan menyesal telah
menanyakan atas dasar apa aku harus berjanji padanya. “Aku hanya berharap abang
mau menerima Sofyan tinggal bersama kita jika kita menikah. Sebab dialah harta
yang paling berhaga bagiku saat ini dibandingkan yang lain. Itu saja pintaku,”
kudengar suara dia terisak.
“Lagian,
abang kan tahu kalau kematian umi karena mendapat kabar abu ditangkap aparat
dan dituduh membantu gerilyawan. Sampai hari ini, Fajri masih trauma, dan tak
ingin kejadian itu terulang lagi pada Sofyan,” dibalik telpon, untuk pertama
kalinya pula sore itu aku mendengar dia menangis, tersedu dan begitu
menyakitkan.
“Abang
kan juga tahu. Hingga kini. Mayat abu juga belum ditemukan. Mengingat hal itu,
aku merasa berdosa jika Sofyan harus tinggal sendiri tanpa ada yang mau
mengurusinya. Meskipun banyak saudara, sampai kapan mereka mau menampung
Sofyan,” lanjut dia, kini dengan suara yang lebih teratur.
***
Pagi itu wajah Sofyan belum begitu pulih. Aku memutuskan agar Sofyan meliburkan diri dari sekolah. Surat izin juga sudah dititipkan istriku pada teman sekelas Sofyan pagi tadi, yang rumahnya tak jauh di ujung gang.
Ketika
Sofyan duduk di kursi ruang tamu, lebam dibibirnya sudah sedikit berkurang
meski jika diperhatikan seksama masih ada bekasnya. Rahangya masih agak sakit
jika disentuh. Begitu pula dengan sebelah matanya, yang diduga istriku bagian
itulah yang paling banyak mendapatkan pukulan karena nyaris dia tak dapat
membuka mata itu.
Sampai
pagi ini, Sofyan belum juga menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Meski
sudah berulang kali ditanya oleh istriku, dia masih tutup mulut dan terkesan
kejadian itu tak perlu dipertanyakan lagi. Sebagai seorang kakak, tentu pula
kami ingin tahu apa penyebabnya hingga Sofyan menjadi korban.
Menjelang
siang, belum juga ada tanda-tanda Sofyan buka suara. Tapi, sore itu, saat hujan
turun dan aroma tanah terbang ke dalam rumah lewat celah-celah pintu dan
jendela, barulah akhirnya Sofyan mengaku bahwa sebenarnya dia dihantam oleh Ismae,
orang gila yang berkeliaran di kampung kami.
“Hah,
si Mae anak pak Dollah yang gila itu? Kenapa bisa?” selidik istriku dengan
wajah yang seolah-olah serius tapi ingin ketawa sebesar-besarnya.
Mendengar
cerita Sofyan, aku juga tak bisa menahan betapa sakit perutku hinggal akhirnya
aku ketawa terpingkal-pingkal, diikuti istriku dan juga Sofyan.
“Dia
lagi marah karena diganggu Razali. Tapi Sofyan yang nahas karena tak lari dari
kejaran orang gila itu. Tapi untung saja ada Toke Sop, yang menengahi dan
mengusir Mae,” jelas Sofyan.
Kami
bertiga masih saja terpingkal dengan kejadian itu. Tak mungkin pula kami harus
menyalahkan orang gila apalagi melaporkannya ke pihak berwajib. Rupanya,
setelah ada tangis, kata istriku, ada pula saatnya kita tertawa.
Di
layar TV, terdengar salah satu presenter sedang mengabarkan penembakan brutal
aparat di Arakundo yang menewaskan banyak orang. Reflek istriku bangkit dari
kursi dan membuat tanda merah pada tanggal 4 Februari 1999.
Saat
itu, seketika kami semua terdiam lagi. Larut dalam laporan yang dikabarkan
seorang reporter televisi. Senyap, dan mendebarkan.
Di
luar, hujan makin deras dan guntur semakin kuat bertabuh di langit yang kelam.
Aku melirik ke arah Fajri. Wajahnya terasa pucat dan seperti ada kenangan yang
kembali yang masuk ke dirinya.
“Umi,
abu,” desah Sofyan.
Saat
mendengar itu, istriku melirik ke arah Sofyan. Air matanya tiba-tiba merebak.
Seperti hujan di luar yang terus menderas. []
Serambi Indonesia, 25 Februari 2018
0 Komentar