Biemdotco, Minggu, 7 Juli 2018



Oleh Pilo Poly


Empang Kapuk
: edysa girsang
Di Empang Kapuk, nyamuk
mengigit bulan. Dia lebih
ganas dari kelaparan dan
pengangguran. Tulang
punggung dan mulutnya,
terbuat dari bau pesing
orang miskin yang
rajin bayar pajak.
Lihatlah pos ini
televisi mengabarkan
hura-hura pejabat. Sedang
rakyat, liurnya kering dan
rindu bau makanan mewah,
tidur nyenyak sambil
meluruskan badan dengan
sejahtera. Tak ada bunyi petasan
malam ini, lebaran yang
nyala di dada, adalah
cara untuk khusyuk pada
kata rindu, senyum keluarga,
meski bulan Juni, sepahit
kopi di atas meja penuh aroma
tikus mati, yang diterbangkan
angin di tanah penggusuran.
EMPANG KAPUK, 2018


Jembatan Peunayong
: gerry famera
Mengingatmu, kepala ini
bermunculan berbagai pariwara
kehidupan. Kita bukan orang
yang kalah, katamu, dan seharusnya
beruntung sebab ada di kota.
Di kampung-kampung, kita tak bisa
melihat cahaya lampu deretan toko,
atau lalu lalang orang berbelanja di pasar
peunayong. Tapi deru
ketakutan. Mesin pembunuhan,
dan orang-rang yang dijemput
tengah malam dan tak kembali.
Mungkin mereka mendaki
Seulawah, kataku. Menghujam
diri di sana sebagai mujahid
prang sabi, dan esoknya
berubah matahari.
Kau tak melihat, bagaimana
rumah di bakar, anak menangis
di pangkuan ibu karena ayahnya
ditembaki di sepanjang jalan
Banda Aceh-Sigli, ujarmu lagi.
BLOK M, 2018


Di Pojok Warung
: tika azaria
Kita dua bahasa yang lain,
resah yang berjauhan
dan dingin. Antara mata kita
dan detak jiwa, lantunan
mimpi yang begitu jauh dan
bergelombang. Jarak yang
begitu gelap ini, katamu,
sesekali ada juga cahaya
yang kita bawa, serupa
berteduh saat hujan sore
di Palmerah. Kau menuju
jalanmu, dan aku sering
kali membawa pulang rindu.
Sementara di tempat lain,
kita menghidu aroma sedih.
Tukang becak, abang ojek
yang dibakar terik, adalah
kerinduan itu juga. Selalu
sedih mengabarkan hari
lain pada orang rumah.
Mereka, katamu lagi, pulang
dengan lesu. Sedang minyak
goreng kering dan beras tandas.
Uang kontrakan belum juga
datang seperti keinginan.
Ya, kataku. Hidup memang
penuh liku. Sedang luka,
selalu menganga tepat di
hadapan kita tanpa ada jalan
keluarnya. Lain waktu, kau
khawatir dengan skripsi
dan omelan ibu. Sedang aku
ngilu sebab bahasa tak
lagi kukuasi. Ia bagai dinding
lapuk di kamar kosan,
dikunyah pelan-pelan rayap.
PALMERAH, 2018


Mei di Pertengahan Lorong
: lk ara
Bulan naik, tinggi dan merah
sedang Mei, masih di pertengahan
lorong begitu sepi. Kerinduan, pucuk
bunga yang kuyup dengan kesunyian.
Seperti matamu, yang hampa dengan
riuh kamar ini. Sebab ada yang begitu
jauh dari jangkauanmu.
Kau sendiri menyapu panjangnya
perjalanan hidup. Bibirmu pecah,
tapi kata-kata dalam hatimu selalu biak.
Kesendirian, katamu, tumbuh
dalam tubuhmu, memanjang ke
atas langit. Sedang di bawahnya,
dadamu setandus bukit-bukit
dikunyah kemarau.
KEBUN JERUK, 2018

Baca Juga: Nyala untuk Yuyun

Pakaian Baru
Aku tidur. Tapi pikiranku ada
di sebuah swalayan. Tengah membeli
pakaian baru untuk ibu.
Saat sadar. Airmataku mengalir.
Rupanya hingga kini aku
hanya pintar bermimpi!
CIKINI, 2018

Baca Juga: Bahagia ke Bahagia