Behomian Rhapsody: Antara Sosok Freddie dan Biografi Band, Semuanya Serba Tanggung



Salah satu cara untuk tidak mengalami rasa nostalgia yang membuncah dalam diri kita adalah dengan tidak mendengar atau pun tahu bahwa ada band legenda sekelas Queen yang mampu menghipnotis pendengar di seluruh dunia sejak mereka hadir. Hingga saat ini, lagu-lagu yang paling berkesan dari grup band asal Inggris ini terus diputar oleh lintas generasi tanpa ingin tahu secara lebih jauh latar belakang lagu-lagu itu diciptakan. Namun, begitu film biografi Queen diluncurkan, semua orang seolah disihir oleh kemewahan yang disajikan baik dalam kehidupan pridabi Freddie atau pun band tersebut.

Cuplikan film biografi Bohemian Raphshody adalah film tematik yang bisa dikatakan berbeda dari kebanyak film biografi yang pernah dibuat. Sebab bagaimana pun film itu ingin memuat sosok Freddie Mercury—diperankan Rami Malek—secara utuh, namun terkesan serba tanggung jika dilihat dari sisi kebesaran Queen dan ketenaran sosok Freddie sendiri. Meski pun serba tanggung, tapi penonton dapat menikmat bagaimana memori rock n roll dari Queen dan Freddie menguat dan memberikan efek lain di dalam studio: ketenaran dan kesuksesan besar Queen.

Film Bohemian Rhapsody sebenarnya tidak sedikitpun menawarkan masa kecil Freddie di Zanzibar, terutama saat dia bersekolah di Bombay, atau pengabdian seumur hidupnya untuk rock and roll. Film ini tidak menunjukkan praktik dedikasi sosok Freddie atau kehidupan musik atau ambisi bandnya. Apalagi membicarakan bagaimana sosok Freddie secara lebih detail: misalnya bagaimana dia mampu membawa serta kemana pun dia pergi selembar kertas yang di dalamnya terdapat sebuah lagu yang ditulisnya. 

Freddie, yang bermain piano dan gitar, tentu saja digambarkan memiliki teknik vokal yang tangguh, suara yang luar biasa— tetapi itu disajikan sebagai hadiah alami yang juga merupakan kutukan. Ia dilahirkan, seperti kata Freddie sendiri, dengan empat gigi seri tambahan, dan ruang mulut yang lebih besar suara vocalnya lebih mampuni. Hal itu diucapkan Freddie di tempat parkir di luar klub, di mana dia saat itu ingin bergabung dalam sebuah grup band bernama Smile hari ke hari makin terpuruk. Di situlah Freddie melakukan audisi spontan untuk mereka, sebelum mereka mengolok-olok kelainan bentuk wajahnya dan menyarankan bahwa itu adalah hambatan yang tak dapat diatasi untuk menjadi anggota band.

Mulut yang menonjol bukanlah satu-satunya sifat yang membuat Freddie menderita cacian. Lahir Farrokh Bulsara, dia adalah etnis Parsi, keturunan dari kaum Zoroaster yang melarikan diri ke Persia lebih dari satu milenium lalu; di Inggris, dia sering dihina sebagai “Paki.” Dia juga seorang pria biseksual di negara yang baru saja mendekriminalisasi homoseksualitas, pada saat itu secara luas dianggap memalukan, atau setidaknya tidak senonoh. 

Ketika Queen mulai populer, Freddie adalah orang yang membawa band itu menuju puncak kesuksesan. Sebuah ide pun terlintas dalam benak Freddie agar mereka harus segera mumulai rekaman. Oleh karena itu, dia pun mengajak teman-teman band untuk menjual mobil yang biasa mereka pakai untuk manggung dari bar-bar dan kampus-kampus di Inggris untuk memulai rekaman. 

Begitu pula saat di studio, Freddie menjadi orang yang mengatur segala keperluan seperti produksi dan teknik studio yang tak lazim dilakukan saat itu. Selain itu, Freddie juga memberi band itu dengan nama baru; Queen. Dia juga mengatur pertemuan penting, seperti dengan manajer Elton John—diperankan Aidan Gillen—dan menekankan bahwa mereka berbeda dengan band-band lain. Dalam pertemuan itu pula, Freddie menjadi seorang bisnis man yang profesional karena mampu membuat Queen diterima dengan argumennya di depan Elto. 

Film Bohemian adalah film biografi yang secara ideologis tidak ambigu: kekuatannya berada pada posisi Freddie sebagai seniman yang menghadapi pertentangan di seluruh masyarakat— termasuk dari label yang sangat dia butuhkan saat itu. Atas penolakan tersebut—diperankan oleh Mike Myers—, Freddie menyampaikan ambisinya untuk membuat musik dengan kekuatan opera, “kecerdasan Shakespeare, kegembiraan teater musikal yang tak terkendali,” kata Freddie, adalah hal yang belum pernah dipakai oleh band mana pun. Oleh karena itu, dia menawarkan hal tersebut untuk dapat didengar oleh semua orang. 

“Kami akan berbicara dalam bahasa lidah jika kami mau,” katanya. 

Lagu Bohemian Rhapsody awalnya tidak diterima oleh perusahaan rekaman karena durasinya yang panjang—enam menit— “dengan lirik yang tidak dapat dimengerti secara baik,” kata eksekutif perusahaan rekaman. Atas perdebatan itu, personil band Queen meninggalkan kantor perusahanaan rekaman itu dengan kekecewaan, tapi juga menjadi lucu sambil melempar kaca jendela kantor lebel mereka dengan batu hingga kaca pecah.

Beberapa waktu kemudian, Freddie menjadi begitu popular. Itu terjadi berkat wawasannya yang tajam dan mengubah hinaan demi hinaan serta rasa frustrasi menjadi lagu-lagu untuk dilempar pada para pendengar. Tentu saja perjuangan mereka dan impian mereka, pencarian mereka akan cinta dan visi kebesaran yang dilumpuhkan—membuatnya kaya, terkenal, dan dipenuhi secara artistik, tetapi secara kritis diejek.

Untuk itu, hanya pada saat-saat kinerja, dari persekutuan dengan orang-orang yang masing-masing dengan cara mereka sendiri, berbagi rasa penindasan dan penghinaan, bahwa Freddie merasa dirinya menjadi dirinya sendiri. Kegembiraan dalam kinerjanya adalah kebahagiaan dalam solidaritas, dan kehidupannya di luar panggung hampir tidak bisa menandinginya. Dia berbicara tentang kehidupan berpesta sebagai pencarian untuk mengalihkan perhatian dari “saat-saat bahagia” ke “masa-masa frustasi” dan, kemudian, akhirnya terjerat narkoba. 

“Menjadi manusia adalah suatu kondisi yang membutuhkan sedikit anestesi,” kata dia membela diri. 

Namun, untuk kesuksesannya, dia tidak hanya dicintai — dia juga menjadi sasaran penggambaran agresif para gosip dan paparazzi, para kritikus, dan pengkhianatan terhadap kawan-kawan karib. Dan kemudian dia menemukan bahwa dia sakit; dia didiagnosis terinfeksi AIDS; dia menyadari bahwa dia sedang sekarat.

Film Bohemian Rhapsody menawarkan kinerja bagus dari sosok Rami Malek dengan penawaran keakuratan akting dan pendalaman karakter Freddie dengan begitu terampil. Malek melakukan pekerjaan mengesankan untuk menciptakan kembali langkah-langkah Freddie di panggung, tetapi inti dari kinerjanya adalah bagaimana sosok Malek benar-benar memberikan perhatiannya pada legenda Freddie. Wawasan Malek terhadap sosok yang diperankannya juga begitu kaya. 

Saya membayangkan, Malek dan Freddie sungguh tidak punya perbedaan sedikitpun. Ia merasakan bagaimana keterasingan dan isolasi puncak ketenaran secara menyeluruh terhadap Freddie. Ini yang tidak dapat dilakukan oleh banyak aktor; benar-benar masuk ke inti seorang tokoh yang diperankannya. Rasa putus asa, efek emosional, dan kehinaan benar-benar ditampilkan secara sempurna.

Meski terdapat kekurangan di sana-sini, namun tetap saja film ini patut mendapatkan apresiasi atas kebijakan dan kualitas yang mampu diperlihatkan kepada khalayak bahwa, kesuksesan yang diraih Queen bukan serta merta datang begitu saja. Tapi dari usaha keras dan keinginan kuat sosok Freddie dan seluruh personil di dalamnya yang disebut Freddie sebagai “Keluarga’. Itulah sebenarnya inti yang mampu saya tangkap dari film ini: untuk terus bergerak dan menghadirkan hal baru.

Film ini disutradarai oleh Bryan Singer, salah satu sutradara ternama di Amerika. Dia pertama sekali menyutradarai filmnya pada tahun 1988. 

Adapun pemeran Freddie Mercury/Vokalis jatuh pada Rami Melek, salah satu aktor kelahiran 1981 dan belajar akting di Universitas Evansville. Rami menjadi tokoh utama dalam film Bohemian Raphsody dengan penuh gairah.

Aktor selanjutnya yang menjadi Bryan My, sang gitaris Queen adalah Gwilym Lee, salah satu aktor berkebangsaan Inggris dan terkenal salah satu pemain film The Tourist, film detektif karya Florian Hanckel von Donnersmarck. 

Aktor lainnya adalah Ben Hardy yang dipercaya untuk menjadi drummer Queen menggantikan Roger Taylor. Ben Hardy adalah salah satu aktor Inggris yang lahir pada 1991. Film debutnya adalah X-Man: Apocalypse (2016) berperan sebagai Archangel. 

Terakhir adalah Joe Mazello yang mengambil posisi John Deacon sebagai basis. Dia adalah seorang aktor dari Inggris yang juga sutradara dan penulis skenario Amerika.

Posting Komentar

0 Komentar