COT KE'ENG, 1991
di Cot Ke'eng, suara senin
meringkik dan deras, jatuh bagai
dini hari yang mendung
kau teringat wajah anakmu,
kecil dan imut, tapi kini
harus belajar tanpa ayah
di jalan-jalan, serdadu
sedang menertawakan
kampung halaman kita,
ujarmu
sesekali, mereka suka
jika suara bedil diledakkan
dalam mulut: lalu berdalih
pemberontakan
di luar, aroma pagi bau
seorang wanita bertubuh
merah, anyir dan memuakkan.
Sebab mengirim negara untuk
membunuh ayahnya sendiri.
seorang perempuan, kemudian melilitkan
kepalanya dengan hari yang putih. hari
yang seharusnya tumbuh dan
membesar; bukan dengan
dar der dor lalu ada
yang mati, lagi dan lagi.
di Cot Ke'eng, setiap hari
bendera kuning
ditancapkan dalam mata kami
JAKARTA, 2018
DI POS JAGA
Mereka datang setiap senin,
ketika luka kami masih dingin,
dan ketika semua lampu ketakutan
untuk menyala.
mereka datang dari berbagai
ibu dan bahasa. mata mereka
seterang jalan-
jalan kota, tapi membawa perangai
lanun dari laut. saat datang,
wajah mereka bagai november
yang basah, penuh dengan
hujan kengerian.
mereka datang sambil tersenyum,
sambil melemparkan gedebuk
di dada dan pinggang. sebab
setelah jerit bambu di ketuk,
belum juga ada laporan senin lalu; apakah gerak-gerik hutan
sudah dapat dibaca?
Senin berikutnya lagi,
pos jaga itu gemetar berkali-kali:
sebuah jam merasa murung pada jarum yang berputar. seperti
tak pernah tahu ada
kini yang tak pernah hadir
di masa lalu.
dan subuh, dan jam, seolah ingin
kembali ke ruang hampa, ke hutan
padat yang dulu bergerombol
di sini, sebelum kayu di tebang
dan dusun tumbuh di mana-mana.
subuh itu, sebutir peluru
menidurkan seorang lelaki, pulas
dan bagai tersenyum seolah berkata; oh Tuhan, kutitipkan anakku padaMu
JAKARTA, 201
KEKASIHKU
kurenungi wajahmu sedalam
sujud dan doa ini, sayang.
meski dalam dadamu
nama lain tumbuh
dan subur, hijau
seperti gunung
dan biru
seperti
laut.
kurawi juga namamu sejauh
perjalanan ini, kekasihku.
sebab hanya cara
itu yang kupunya,
kiat hentikan
ribuan perang
di lekuk
rantau
ini.
aku selalu tetap
mencarimu,
dalam diriku, sayang
meski juga tahu
kau ada di jendela,
tengah berbicara dengan
yang lain. sedang kehadiranku
hanyalah kamus, tempat
kata-katamu perlu dibenarkan.
aku padam, sayang.
tapi kau terus saja nyala
dalam
diri ini. menggebu
dan deras; persis hujan dalam
diriku.
terkadang aku ingin melupakan
semuanya, sayang. kecuali
kenangan yang tumbuh
bagai deretan rumah dalam
dada ini, menjalar ke urat
nadi seperti rindu sungai pada
perahu yang pulang dari kuala.
betapa berat memikul
namamu di pundak ini,
cintaku. setiap malam
rasanya tersesat di
dalam suaramu. kemudian
mabuk karena melihat kau
bagai terangnya mata pagi.
aku ingin kau membenciku saja,
sayang. agar aku dapat tidur
pulas dalam diriku sendiri.
sambil bermain dan bernyanyi di dalamnya. kemudian terjaga tanpa
pernah tahu kau ada di dalam
ribuan diriku, rinduku, dan
harapanku.
JAKARTA, 2018
PERGILAH
Aku tak menyangka, kau pergi dengan
luka seberat rantauku sendiri. betapapun
sudah begitu kuat cinta ini bagai
kebahagiaanku sendiri.
Masih segar wajahmu di teras bidang dada ini. Seperti aroma kerinduan yang singgah di pelabuhan, berharap pemudik
tak pulang dengan sia-sia.
Laut begitu tertib, sayang. Ombaknya
mengirimkan sinyal gigil ke tubuhmu. Sesekali dia meraung sederas hujan
memandikan hutan-hutan. Lalu kata-kata
mulai membentuk diri seterang matamu.
Ah. Seandainya kau tinggal lebih lama. Ingin kurantau seluruh jiwamu. Ingin kuobati seluruh riak sungai dalam matamu.
Ah!
JAKARTA, 2018
HANYA DENGAN MENCINTAIMU
Hanya dengan mencintaimu Tuhan,
aku tidak perlu duit, rumah mewah dan
mobil bagus.
Aku bisa kapan saja masuk kedalam rumahmu, meskipun aku datang dengan sendal jepit, dan badan penuh keringat.
Hanya dengan mencintaimu saja, Tuhan
aku merasa cintaku terbalas, lebih dari
yang kuinginkan dan harapkan.
Hanya dengam mencintaimu, Tuhan.
Maka cinta seberat apapun akan dapat kuarungi meski ombak badai menghantam.
JAKARTA, 2018
Terbit di Riau Pos, 9 Desember 2018
0 Komentar