Bagaimana
pun, puisi selalu menjadi ruang kesunyian bagi seseorang untuk menceritakan
dirinya, hidup, kesukaan, bahkan hingga kebencian sekalipun. Puisi, meski masih
ruang kecil dan pengap dalam kesusasteraan saat ini, ia tetap menjadi jembatan
yang tak pernah terputus antara kata dan penciptanya. Ia akan selalu biak
menyampaikan berbagai macam persoalan kehidupan orang lain, bahkan kehidupan
penulisnya sendiri.
Saya
selalu menjadi orang yang terkejut saat menemukan hal-hal baru, penyampaian
yang segar, dan celoteh liar dari segenap puisi yang ditulis. Sebab, saya
selalu kalah menetapkan diri, mengurusi kata, hingga membuat pembaca setidaknya
mengatakan, bagaimana bisa ide ini terlintas? Saya akui, saya masih jauh dari
panggang.
Pun
begitu, saya banyak belajar dari berbagai puisi yang hadir ke tengah diri saya.
Saya selalu mencoba mengakrabkan diri, meski kadang banyak sekali puisi saat ini
hadir ke tengah-tengah kita yang secara tidak sadar telah menjadi bumerang,
yang bila diperkenankan mengambil apa yang dikatakan Rendra dalam bait
kedelapan Puisi Sebatang Lisong, itulah yang berulang lagi.
Jadi,
pantas saja hingga saat ini puisi mendapatkan posisi ‘anak tiri’ dari
masyarakat. Baik itu dari kalangan terpadang, akademisi, hingga penarik becak
sekalipun. Puisi masih menjadi barang yang tak mampu merubah sesuatu ke arah
lebih baik, dibandingkan puisi-puisi sekelas Chairil Anwar dan WS Rendra
sendiri, yang terus berperang dengan wawasan-wawasan kemajuan.
Sewaktu
seorang teman meminta saya, atau lebih tepatnya menanyakan, apakah menurutmu
puisiku layak? Maka yang terlintas dalam pikiran ini adalah: kau sadar, tidak?
Aku banyak sekali belajar dari puisimu. Ya, itu adalah jawaban klise
sebenarnya. Tidak ada hubungan antara pembelajaran yang dapat dengan bagaimana
pendapatku sendiri terhadap puisi yang bergerombol ditulis dan diproduksi hari
ke hari.
Maka,
apa yang kemudian menjadi jawaban adalah: Puisi selalu melaju dari kekuatan
kognitif seseorang dalam melihat, merasakan, bahkan mendapatkan dampak bagi
dirinya sendiri. Hal itu pula mendorong daya faktual dalam dirinya–lintasan
bahasa—dan kemudian terbentuklah puisi-puisi dari berbagai frame yang majemuk—mungkin
dipengaruhi pula oleh empiris seseorang—yang sedang dihadapinya. Misalnya, dari
lelahnya perjalanan dari dan ke satu tempat untuk kepentingan besar kehidupan—keluarga—dan
dirinya sendiri.
Hal
itu juga tak dapat dipisahkan dari seseorang, bahwa ada semacam kilas balik
dari dirinya yang kemudian membentuk bahasa lebih ketat dan lugas untuk
menyampaikan pemikiran-pemikirannya dalam puisi. Dan hanya mereka yang telah
lama berkecimpung dalam dunia katalah, akan mendapatkan porsi lebih dominan
menemukan sekelimut bahasa—terlihat dari cara penyampaiannya puisinya—yang
terus diasah dan diperebutkan dalam kepalanya.
Hingga
kini, tiori bahwa bahasa adalah sesuatu yang privat bagi seseorang itu benar
adanya. Ia tak akan meluncur begitu saja bila apa yang menjadi rahasia puisi
dengan gamblang dapat diterjemahkan begitu saja, tanpa perlu merenungi isi
puisi, lalu membaca kata perkata, hingga akhirnya mencapai pada kesimpulan yang
absolut.
Tapi
bagaimana pun privatnya bahasa, sebuah tafsir puisi akan melangkah dengan
kesendirian. Tafsir bisa datang dari berbagai bentuk, berbagai cara dan sudut
pandang; esai itu ditulis atas dasar bahwa seseorang ingin menulis dan terlepas
dari segala bentuk tiori yang menyertainya, begitulah uangkapan yang mungkin
dapat saya petik dari tulisan Arif Budiman, berjudul Esai tentang Esai yang
terbit di Sinar Harapan, tahun 1982.
Oleh
karena itu, saya mau membebaskan diri dari sekelumit hal-hal berat dalam
memberi artian pada puisi-puisi. Sebab, kita saat ini butuh hal sederhana,
meskipun kita menulis tentang diri sendiri, tapi memberikan efek kepada orang lain, itu adalah sebuah pencapaian
yang kongkrit atas perjuangan bahasa yang telah kita ciptakan.
Maka,
saya menjawab, apa yang menjadi kegelisahan teman saya, bahwa, puisi-puisinya
adalah mesin waktu, sebuah lensa untuk melihat diri sendiri, Jakarta, dan
kelakukan masyarakat modern saat ini, yang tak sabaran, ingin memaki, dan lain
sebagainya. Puisi-puisinya, yang kemudian dia beri judul misalnya Stasiun
Manggarai, atau, Stasiun Juanda, adalah fragmen kehidupan yang saat ini kita
lihat dari sudut privat seorang penulis puisi itu sendiri, Pringadi Abdi Surya.
Jadi,
apa yang ditulis Pringadi, adalah bahan renungan, bahwa apakah kita juga
menjadi binatang perempuan kita di rumah, bintang perusahaan, atau binatang
nasfsu bagi diri kita sendiri. Untuk menjawab itu, kita patut membaca
puisi-puisinya, di sini: Stasiun Juanda, dan Stasiun Manggarai sebagai bentuk bahwa
apa yang terjadi pada kita, rupanya tak jauh beda yang dirasakan orang lain. Sama-sama
merasakan hal sama, meski cara mengalaminya berbeda-beda.
Pring,
puisi-puisinya lebih dari kata layak, lebih baik dari puisi-puisiku sendiri,
luka-lukaku sendiri.
0 Komentar