Tempo, Sabtu, 23 Februari 2019





NISHA

Dialah—jika boleh disebut ibu hutan—
rumput liar di tanah basah. Tempat
pohon-pohon menidurkan sebentar
saja kebohongan dalam dirinya. Ia setegar
bahu perantau yang kasab, berkilau dan
ingin mengobati hari yang robek oleh
aroma anyir kehidupan dini hari.

Tapi dia lemah. Meski gunung-gunung
dan pohon sekuat dan secerah matanya.
Dia tetap sepi, jika ada yang hilang
dari kasihnya, dadanya akan berdarah
dan air matanya akan menenggelamkan
seluruh jagat rimba.

Kepada Mowgli, diserahkan sepenuh dirinya.
Dia akan mampu merenangi hidup dan tak
patah dihantam buruk cuaca. Kekuatannya,
bagai kokoh gading gajah dan begitu kuat
seperti karang nun jauh. Doa dari segala
gemeretak dada. Layar kembang puak rimba.

Jakarta, 2019





SEANDAINYA
buat Ahmad

Seandainya tubuhku gelombang Ie Beuna,
ingin kutarik tanganmu dari tragedi itu.
Lalu secara tergesa akan kukabarkan
pada para puak bahwa kau bukanlah
puluh ribu orang yang melawan laut
pada pagi Minggu itu.

Di luar, langit cerah seperti candaan kita
Tapi dari arah laut, gelombang meretakkan
Cita-cita dan membawa hanyut harapanmu,
Hampir seperti desa-desa kita yang saban
Waktu disapu oleh ribuan peluru dari Jakarta.

“Aku ingin jadi Militer,” katamu, suatu hari
Tapi pada hari lain, kau mendadak jadi
Seulanga, dan aku terpacak menunggumu
di hadapan luas laut tak berbatas ini
dengan suara Seurune Kalee yang
meringkik, pedih dan seolah menangis.

Di laut, apakah kau bahagia, Mad?

Jakarta, 2019



Koran Tempo, Sabtu, 23 Februari 2019