Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), XI 2019 di Kudus, Jawa Tengah, dari Jumat, 28 hingga Minggu, 30 Juni 2019 adalah event sastra paling bergengsi yang saya ikuti.
Event yang mengetengahkan Persaudaraan dan Kemanusiaan ini menghadirkan para penyair baik dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam terdiri dari 46 penyair dari Jawa Tengah, 32 penyair nasional, 6 penyair dari Malaysia, 7 penyair dari Singapura, 6 penyair dari Thailand dan 4 penyair dari Brunei Darussalam.
Temu penyair ini sendiri sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Artinya, telah 11 tahun PPN diadakan dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Tentu saja jika berbicara kekurangan, tak ada yang sempurna dalam setiap pagelaran sastra di Indonesia. Sebab belum sepenuhnya pemerintah Indonesia mau peduli terharap kesusasteraan. Itu terlihat dari begitu susahnya birokrasi memberikan fasilitas kepada para penyair yang hendak mewakili daerahnya masing-masing.
Pun demikian, tak semua pula penyair-penyair ini selalu mau berharap kepada pemerintah. Mereka muak, katanya dan kadung membesarkan hati untuk merogoh kocek sendiri jika hendak mengikuti event sastra.
Hingga saat ini, berbagai diskusi juga telah dilakukan untuk mencari formula agar pemerintah daerah benar-benar mau peduli kepada mereka. Tapi lagi-lagi, ketika ada event, mereka harus rela dengan pernyataan yang sama bahwa pemerintah tidak punya anggaran untuk itu. Menyedihkan?
Padahal, sumbangsih para penyair ini perlu dikembangkan sebagai bentuk penghargaan untuk kebudayaan, terutama kesusasteraan. Terlebih betapa bobroknya pula pendidikan kita saat ini.
PPN XI Kudus, saya kira adalah mata rantai kebuntuan kita selama ini. Event ini adalah mata air yang begitu melegakan di tengah kondisi Indonesia yang serba amburadul ini. Itu sesuai pula dengan puisi yang dibacakan D. Zawawi Imro, berjudul Tanah Sajadah.
"Agar Indah yang indah semakin damai dan indah
Tanah air adalah sajadah
Siapa mencintainya
Jangan mencipratinya dengan darah
Jangan mengisinya dengan fitnah, maksiat, dan permusuhan
salah satu penyair," ucap dia di atas Panggung Penyair Asia Tenggara.
Untuk itu, perlu kiranya kegiatan sastra ini tidak saja didukung oleh berbagai perusahaan swasta seperti halnya dari Bakti Budaya Djarum Fondation, tapi juga pemerintah, DPR RI terutama Komisi X, yang membidangi Pendidikan dan Kebudayaan, jangan hanya pintar bagi-bagi proyek dan mengambil keuntungan untuk diri sendiri.