Van Swieten, Kohler dan Woolcombe




Thalia[1]

Di Kuala Aceh, Woolcombe[2]
Melihat kapal-kapal
memuntahkan
Kedengkian. Serdadu
menjadikan
Bahasa sebagai kabar buruk,
dan peluru, katanya, bergembira
atas darah yang ruah.

Di atas Thalia, pikirannya
hidup dalam ketakutan,
meski pelabuhan selalu menjadi
kampung halamannya, namun
jantungnya dilintasi berbagai keributan.

Di geladak, ia melihat bukit
Menuju nestapa, dan orang-orang
Larut dalam musim sedih, yang
Dibawa oleh angin dini hari, angin
Kesumat peperangan.

Kapal-kapal berbaris, moncong
Kematian menggapai gunung
Gunung jauh, tempat orang-orang
Memikul arah kehidupan. Tapi perang
Adalah suara paling dusta dan
Tajam bagai kesunyian.

Masa lalu, baru saja berangkat
Ke arah luka paling tepi, tempat
Sejarah ditulis dan diulas lagi.
Namun darah menjadi tinta dan
Kisahnya parau dikalahkan
Masa depan.

Dari geladak, suara meriam
Berkali-kali menghatam
Kehidupan di ruang berbeda
Pada masa kini.

Jakarta, Mei 2020

 

 

 

Kohler

Mereka datang berkali-kali ke negeri ini,
Ke negeri penuh rahmat, dan penuh
Kasih sayang dan taat.

Mereka datang dengan mata yang lain,
Dengan bahasa yang baku, dan kuning
Lampu kapal menerpa angin laut selat malaka.

Sambil memohon agar sultan
Takluk, agar yang terkutuk tetap terkutuk.
Tapi Sultan kami, Sultan tanah Serambi,

Puak dari yang paling taktik, di bawah
Kadhi Malikul Adil, menabuh malam dan
Mengirim sinyal perang.

Di gunung-gunung, hingga jauh ke lembah

dan dusun,  orang-orang datang berduyun,

Ingin menghalau si pembawa tenun.

Penjajah-penjajah itu, yang berlabuh 

dari Batavia dalam Citadel van Antwerpen,
Datang dengan kehidupan, tapi bawa pulang kematian.

Di tanah ini, yang tandus adalah kejahatan,
Yang baik ditanam berkali-kali. Dan Kohler,
Di depan Baiturahman melesat ke


Kematiannya sendiri.


Jakarta, Mei 2020


 

Van Swieten

Setelah ribuan ombak dan kepahitan
Aku menangkap masa lalu,
Yang menulis dirinya lewat suara
hikayat dan Seurune Kalee

Seluruh kepergian, adalah
matahari, tangkai bunga
yang akan tumbuh dan
mengajarkan perihnya melupakan.

Di pelabuhan, malam menjadi
Lebih tua dan kegelisahan
Merayap di dinding-dinding
esok hari, hingga waktu
Yang tak dianggap peristiwa.

Siapakah yang duluan
Pulang, kecuali Van Swieten, yang
Melempar fitnah dari barat
Ke negeri Pahang, dari Pidie ke
Aceh Besar, lalu ke Johor, ke
Tumpuk bawahan Sultan,
Dan terlempar jauh ke masa kini,
Dalam bentuk idiom.

"Bek tajak u Meulaboh,
bak taduek-duek takue putoh.
Dipeugah keu ureung Pidie kriet, bue ie dikira. 

Keu ureung Aceh Rayeuk, dipeugah Peuraja-raja droe,"[3]

katanya, dulu setelah

Gerbang niaga dibuka dan sambut-
Menyambut digembala dari hari
Ke hari lainnya, dari malam ke
Malamnya lagi berkali-kali.

Yang jahat, tak lama akan tumbuh,
Yang baik, akan ditanam berkali-kali.
Hingga Swieten pargi, tak sanggup
Api membakar sultan kami.


Jakarta, Mei 2020




[1] Kapal Perang Angkatan Laut Inggris

[2] Kolonel Woolcombe

[3] Taktik Pecah Belah yang dilakukan Van Swieten