Celoteh




Mendaki gunung Semeru, mungkin memang menimbulkan kelelahan yang begitu terasa, namun, gunung impian yang tak terlihat akan lebih menyusahkan pikiran dan jiwa. Ia serupa halu yang terus menerobos tidur kita. Saat malam, kita digasak oleh rasa ketertinggalan yang perih. Kadang juga, rasanya kita terlempar begitu jauh: ke ruang hampa, gelap dan penuh dengan ketidakpastian.

Kita kerap dihampiri oleh waktu yang tak kenal kompromi, seolah kita harus berlari secepat mungkin agar tidak semakin jauh tertinggal di belantara kehampaan tadi, yang kemudian membuat kita merasa bahwa semuanya menjadi sia-sia belaka dan belum beruntung karena kesalahan masa lalu yang tak bisa diperbaiki saat ini.

Tapi, hanya kepada ibu, kita kembali dan doanya serupa tetesan air di gurun Sahara yang gersang dan terik. Kita hanya punya impian itu, kemudian membuang semua kebutuhan diri kita sendiri, dan menganggap bahwa keluarga adalah harta dari segalanya meski kita terpuruk, jatuh dan terus terjerembab dalam kegamangan yang tiada ujung.

Kadang dari rindu pula, dan senyum mereka itu yang membangkitkan kita kembali untuk setidaknya menasehati diri yang babak belur oleh liku kehidupan untuk menarik diri, serta membuang masa lalu pahit ke jurang yang jauh, dan tak bisa dijamah pikiran kita itu.

Pikiran kita, sering melempar juga kita ke luar jalur yang kita lalui saban hari, dengan berbagai kegaduhan di dalamnya dan memaksa kita untuk berhenti dari impian kita. Kita akan terus digoda untuk benar-benar pergi jika seandainya kita tidak kuat menerima hamparan kegelisahan yang tertanam di dalamnya.

Padahal, tidak ada yang tidak mungkin saat ini ditengah canggihnya celotehan di twiiter, segala maha pamer di IG, dan bagi-bagi duit di YouTube dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih ranum: masa kini. Tapi pun demikian, ada saja seseorang yang tetap tertinggal di masa lalu: sibuk dengan kemegahan yang pernah didulang tapi masa depannya penuh igau karena perjuangannya berada di dalam kesunyian, bukan dari sistem kekeluargaan monarki yang akan turun temurun menguasai berbagai kemegahan, tidak pernah merasakan pedih sebenarnya.

Nyamuk semakin banyak, dan malam telah larut dalam dada kita, itu hampir serupa membayangkan Strange Fruit yang dibawakan Billie Holiday sebagai bentuk protes, kata Goenawan Mohamad. Dan, dari liriknya, kita melihat betapa manusia ingin mendominasi atas manusia lainnya.

Mengutip juga apa yang disebut oleh Iksan Skuter dalam lagunya, "Makin hari makin susah saja, Menjadi manusia yang manusia. Sepertinya menjadi manusia, Adalah masalah buat manusia, pantas rasanya disandingkan dengan lirik Billie Holiday yang berbunyi,

Darah pada daun
Darah pada akar
Jasad hitam yang teranyun-ayun
Di angin selatan
Buah ganjil yang tergantung 
Di pohon poplar

Saat menulis ini, saya menulis untuk diri sendiri, tak perlu gamang dan merasa ada dan menjadi bagian dalam tulisan saya. Sebab, pengingat yang paling baik adalah alarm diri sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar