Sejarah dan ingatan dalam suatu peradaban adalah keniscayaan. Darinya kita belajar untuk mengenang, menghormati, dan menciptakan satu negosiasi terhadap masa kini. Tidak jauh halnya dengan karya sastra. Karya sastra turut merekam, mereproduksi, dan menginterpretasi secara interteks maupun secara reseptif ingatan-ingatan masa silam yang dialami, sebab karya adalah bagian dari siklus sosial politik masyarakatnya.
Dalam kajian pascakolonial yang berkembang luas, terutama kajian tentang ingatan dan kenangan terhadap perbagai peristiwa masa silam, selalu muncul negosiasi, perspektif, dan juga narasi-narasi yang berkaitan dengan bagaimana masa silam sebagai kenangan memberi makna (tafsiran) bagi pelakunya. Pada masa kini atau saat sesudahnya, peristiwa-peristiwa masa silam tersebut menjadi ingatan yang hanya bisa dirindukan, karena sudah tidak bisa ditemui. Ada semacam romantisme sehingga masa lalu tersebut dikenang dan sekaligus menjadi penanda terhadap bagaimana subjek dibentuk. Ingatan atau kenangan yang hadir kemudian mengalami regenerasi dengan ditularkan dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya, misalkan dari orang tua kepada anaknya dan seterusnya. Hal yang cukup penting adalah bagaimana peristiwa (ingatan) dan benda-benda tersebut bagi manusia saat ini.
Sebagai negara pascakolonial, Indonesia memiliki bermacam peristiwa yang menjadi narasi dan ingatan dari masyarakatnya. Ingatan sepenuhnya tidak personal (subjektif) melainkan dikonstruksi atau dipengaruhi oleh ingatan kolektif. Melalui konstruksi dari ingatan kolektif tersebut, sebuah peristiwa juga memiliki keterkaitan dengan konteks sosio-kulturalnya. Ingatan individu dengan demikian selalu ber-relasi dengan kelompok-kelompok sosial, nasional, maupun internasional.
Peristiwa mengingat bagi mayoritas masyarakat Indonesia sangat empirik dan penting, bisa dibuktikan melalui pendirian monumen, tugu, objek-objek material dan sebagainya. Karya sastra pun bisa diposisikan sebagai ruang yang demikian, sebuah monumen representatif atas ingatan-ingatan masa silam yang dituliskan ulang. Jika kita cermati, banyak karya sastra yang ditulis berdasar ingatan personal penulis terhadap peristiwa yang terjadi dalam sejarah sosio-kultural masyarakatnya. Baik yang dialami langsung maupun yang ia peroleh dari proses interaksinya dengan lingkungan masyarakat.
Ingatan atau memori-memori ini ada juga yang bersifat traumatik. Melalui yang traumatik inilah, posisi sastra menjadi unik. Ia memerankan suatu narasi yang mengaitkan bagaimana hubungan masa lalu dengan masa kini dimaknai. Karya memberikan tafsiran (pengarang) atas masa lalu, dalam artian ia bisa mendukung narasi yang sudah konvensional atau sebaliknya, menentangnya. Memori traumatik tersebut dengan demikian memberikan ruang kreatif bagi pengarang untuk memosisikan apa makna masa lalu bagi masa kini.
Arakundo dan Memori Traumatik Aceh
Ingatan traumatik ini sepertinya menjadi suatu perspektif Pilo Poly dalam buku puisinya yang berjudul Arakundoe dan Puisi-Puisi Lainnya (Penerbit Jeda, 2018). Pilo Poly mengingat memori-memori traumatik dan kolektif sekaligus memosisikannya dalam metafora puisi-puisinya. Ingatan sebagai memori ini menjadi satu aspek penting dalam rangka “membangun dan memelihara” peristiwa masa silam yang menimpa masyarakat Aceh. Istilah membangun dan memelihara tersebut merupakan suatu proses menurunkan/mewariskan trauma yang membekas hingga hari ini secara kolektif. Hal tersebut seperti terlihat pada judul puisi “Arakundoe” yang mewakili memori traumatik dalam buku tersebut secara utuh.
Yang tak berhenti,
adalah bunyi suara malam di Arakundoe.
Malam keluar dari dirinya sendiri, ingin
Menjelma menjadi yang lain,
yang mampu menenangkan
Betapa risaunya magrib menyambut kengerian
...
Puisi mengemban satu kenyataan metaforis tentang peristiwa yang terjadi. Peristiwa traumatis digambarkan oleh Pilo Poly dengan bunyi suara malam yang tak berhenti/ malam keluar dari dirinya sendiri/ magrib yang risau. Penggambaran yang tak biasa tersebut dalam rangka menjangkau “kengerian” yang tak terdefinisikan. Bisa ditafsirkan bahwa kekejaman yang tak berperikemanusiaan terjadi hingga (suasana) malam berubah. ingatan traumatik inilah yang kemudian menjadi penanda dari penyair, bahwa ia mencoba meneruskan, memelihara, mencatat, dan menyuarakan peristiwa yang tidak bisa dilupakan dari masa lalu yang pahit. Masa lalu yang menyisakan trauma kolektif.
Pada bait selanjutnya pun demikian, Sungai-sungai/ juga buru-buru keluar dari ceruk lumpur/ tempat aduh dan derajat mengalir tanpa ditebus/ tanpa dimandikan takbir dan doa kepergian,/ sebagai syarat seseorang telah tiba pada kata selesai/ dan berhenti membenci rasa sakit demi sakit. Betapa kesedihan menjadi fragmen yang kelam dan mencekam. Pilo mencoba mendeskripsikan kembali peristiwa dalam Tragedi Arakundo atau dikenal juga dengan Tragedi Idi Cut, dalam tragedi tersebut terjadi peristiwa pembantaian rakyat sipil yang dilakukan oleh ABRI pada 4 April 1999.
Korban-korban yang berjatuhan dalam Tragedi Arakundo tersebut menandakan bahwa manusia tidak memiliki derajat dan martabat sehingga hanya dibuang saja ke sungai. Rekaman peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kekejaman terhadap orang-orang sipil adalah ingatan traumatik yang dialami. Meski perlu juga dilihat dalam konteks situasi puisi tersebut ingatan traumatik tidak secara langsung dialami oleh penyairnya. Ia hanya meneruskan ulang ingatan/memori tersebut sebagai semacam monumen traumatik. Ingatan yang tidak dialami langsung melainkan diteruskan dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya, bisa dinamakan sebagai “pascamemori” atau postmemory.
Selain judul tersebut, sejumlah memori traumatik juga coba dihadirkan oleh Pilo melalui puisi yang berjudul “Rumoeh Geudong” (hal. 27), “Beutong Ateuh” (hal. 28), “611” (hal. 30-31), “Cot Keng, 1991”(hal. 32), “Di Pos Jaga” (hal. 33-34), “Jembatan Peunayong”, (hal. 35), dan juga “Pidie Jaya” (hal. 51). Judul-judul tersebut secara literer, menyatakan adanya trauma dan ingatan yang panjang. Bisa dilihat dari pilihan diksi yang diusung penyairnya, semisal, hidup rasanya lumpuh, gugu dan membisu/ dan kesunyian, naik ke desa-desa/ keselamatan adalah permainan/ ribuan suara tangis, kalah oleh tertawaan SS1, yang memuntahkan /kematian demi kematian// (“Rumoeh Geudong” hlm.l. 27).
Pilihan diksi dalam kasus puisi di atas menunjukkan adanya emosi secara psikis. Representasi dan gambaran kondisi yang dihadirkan tersebut tentu menjadi satu kontemplasi dari penyair yang mengenang kesakitan masa lalu sebagai satu bentuk integrasi identitasnya di masa kini. Identitas yang secara eksistensial dibentuk melalui pergulatan panjang dari memori kolektif hingga menjadi pascamemori bagi penyair yang notabene adalah generasi berikutnya dari pengalaman-pengalaman traumatik masyarakatnya. Transformasi ini menjadi kunci bahwa ada upaya peneguhan ingatan melalui trauma dan upaya penyadaran akan situasi sosial politik dalam wacana puisinya tersebut.
Tidak beda dengan kasus puisi “Rumoeh Geudong”, puisi lain pun secara artikulatif menyimpan kesakitan traumatis, sebagai misal beberapa kutipan berikut.
...
Pagi itu , ada yang gugur, dan ada yang begitu
Remuk, selepas peluru-peluru
Dengan pongah berpesta.
19 tahun kemudian, rasa sakit itu masih
Suka berjalan-jalan di sekitar itu, tempat
Di mana Sudjono menyanyikan suara bedilnya,
...
(“Beutong Ateuh”, hal, 28)
Memori traumatik ini menandakan bahwa kesakitan demi kesakitan diteruskan secara intens dan berkala kepada generasi ke generasi dalam masyarakat Aceh. Tidak hanya melalui ingatan, melalui arsip sejarah pun ditemukan catatan dan dokumentasi tersebut. Transmisi ingatan ini adalah sebuah wujud empirik dari hadirnya sistem represif dalam suatu negara untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam ruang lingkup pascakolonial secara luas, kaitan hal ini dengan dunia sastra adalah dokumentasi dan transformasi yang terjadi atas tafsir versi sejarah (faktual) pemerintah sebagai otoritas dan juga ingatan kolektif masyarakat yang mengalami langsung maupun tidak langsung situasi tersebut adalah untuk menunjukkan sikap keberpihakan pengarang terhadap korban-korban yang tidak pernah mendapat kejelasan keadilan. Selain itu, sastra juga menjadi semacam monumen kontemplatif (dari sisi kemanusiaan) agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Titik fokus dari pengalaman traumatik dalam pascamemori inilah yang kemudian memberikan orientasi atas narasi pada masa silam dan kemudian direproduksi oleh pengarang dengan titik fokus menunjukkan adanya suatu bentuk identifikasi diri sebagai generasi penerima “ingatan traumatik” tersebut. Bagi generasi berikutnya (masa kini), ingatan atas masa lalu dalam bentuk puisi adalah sebuah citra kolektif bagi penyair yang notabene adalah bagian dari masyarakat Aceh yang secara traumatik mengalami transmisi kekerasan dan kasus HAM. Puisi bagi Pilo Poly adalah penanda artifisal bagi generasi sekarang untuk lebih kritis dan sadar terhadap persoalan-persoalan humanisme, kebebasan, dan masa silam yang menentukan identitas melalui bahasa yang cenderung tendensius. Sebagai subjek kolektif, ingatan Pilo atas peristiwa Arakundoe adalah sebuah transmisi yang terus dijaga sebagai “sakit” yang panjang. Sebuah trauma dari rezim dan negara yang tidak pernah selesai untuk disembuhkan. Sekali lagi, puisi mengingat dan menolak lupa.
*Rini Febriani Hauri, seorang ibu rumah tangga yang sekarang bermukim di Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sumber: Rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya di Harian Rakyat Sultra pada hari Senin, 7 Oktober 2019.
0 Komentar