Oleh: Ratna Ayu Budhiarti
Buku puisi yang saya baca di awal tahun ini adalah “Arakundoe dan Puisi-puisi Lainnya” karya Pilo Poly. Mengawali dengan langsung melewatkan endorsement agar tak terpengaruh dulu saat membaca, saya menjumpai tempat yang akrab bagi penulisnya. Sekitar Cikini, di mana penulis sering berada dan berkegiatan di sana. Setting Aceh juga turut mendominasi puisi-puisi Pilo.
Beberapa puisi liris terasa romantis, sekaligus khas lelaki. Yang tidak terlalu berlebihan mengungkapkan sisi emosionalnya dibanding perempuan. Tapi juga menunjukkan kasih sayang dan cinta yang dalam saat mengatakan rindu, perasaan dan harapannya pada seseorang atau sesuatu. Lihat saja misalnya dalam lirik dalam puisi “Hujan yang Menjatuhkan Namamu”:
HUJAN YANG MENJATUHKAN NAMAMU
Di luar, hujan menjatuhkan namamu
Begitu basah dan menyebar
Ke tanah dadaku yang tandus ini.
hati ini, hampir seperti bukit kering, dan
pohon-pohon seakan berdoa agar hujan tidak
begitu cepat pudar
Langit jiwa yang begitu dingin ini,
Juga tak pernah berhenti bersujud,
Tak pernah bosan agar namamu selalu
Tersebut
Jakarta, 2018
Rindu yang syahdu. Kehadiran seseorang yang selalu dinanti, dipadukan dengan doa-doa yang mengangkasa, terasa begitu lembut dibaca. Rindu yang pasrah, yang sabar, dan tidak cengeng, sekalipun dia bilang “tanah dadaku yang tandus”.
Dalam puisi “Doa Ibu”, Pilo menggambarkan seorang wanita yang selalu jadi pemandu dalam hidupnya. Puisi yang terdiri dari empat paragraf ini melukiskan sosok ibu dengan indah, dengan rasa hormat dan cinta seorang anak. Segala titah dan petuah ibu bagaikan rambu-rambu. Terlihat dalam kalimat: //Ibu juga serupa pagi,/ yang saban waktu menjadi pengingat./Agar anak-anak lepas dari gelisah/ Hingga jadi jiwa yang bebas//
Saya menangkap sisi humanis Pilo dalam kumpulan puisi ini. Selain cinta kasih pada sesama manusia, Pilo yang peduli pada tanah kelahirannya, Aceh, menuliskan kisah-kisah kelam yang pernah terjadi dan jadi catatan dalam sejarah Aceh. Beberapa puisi tentang peristiwa yang terjadi terasa getir dan menyedihkan. Dada saya sedikit sesak saat sampai pada kalimat: //Keselamatan, adalah permainan/ Dadu penjudi yang datang dari Jakarta,/ Sebagai bahan studi nyali BKO.// Di Rumeoh Geudong, ribuan suara tangis/ Kalah oleh tertawaan SS1, yang memuntahkan/Kematian demi kematian.//
Seperti juga dalam puisi Arakundoe, yang menjadi judul buku ini, tragedi Arakundo, menggambarkan kengerian yang pedih: /Malam keluar dari dirinya sendiri, ingin/ Menjelma menjadi yang lain,/ yang mampu menenangkan/ Betapa risaunya magrib menyambut kengerian//
Konflik tentang Rohingya ditulis apik. Begitu pun konflik batin pilo melihat kehidupan di ibukota, kota tempat dirinya kini beraktivitas, yang dianggapnya kota yang rakus. Bahkan nama Teuku Markam sebagai penyumbang terbesar emas di Monas seolah menggugah pembaca, betapa hal-hal sepele atau detail kecil sejarah bisa terlupakan, tergerus jaman dan kesibukan.
Meski ada sedikit “kesalahan teknis” dalam buku keluaran Penerbit Jeda (2018) ini berupa salah ketik, tapi satu-dua, dan tidak terlalu berpengaruh. Secara keseluruhan, isinya indah dan menggugah kesadaran.
Pilo romantis dan humanis. Begitu yang saya tangkap dari puisi-puisinya dalam buku ini. Pilihan diksi sederhana tapi mengena. Mudah dicerna, tidak “njlimet”. Tiada kata menyesal membaca buku ini. Proficiat, Pilo!
#RAB, 7 Januari 2019
0 Komentar