Mengenang Para Mujahid Tsunami Aceh Lewat Puisi





Hampir tak terbayangkan dulu, ketika Gempa dan Tsunami Aceh melanda. Kini musibah maha dahsyat itu telah berlalu 16 tahun lamanya. Namun apa yang terjadi, tentu tak mudah dilupakan apalagi banyak pula saudara dan para sahabat yang menjadi korban. 

Kejadaian maha dahsyat itu, beriringan pula dengan konflik Aceh yang belum usai. Konflik dan Tsunami menjadi dua hal yang berkaitan hingga melahirkan resolusi konflik Aceh hingga hari ini. Mungkin teguran gempa dan tsunami itu untuk menghentikan pula konflik yang berkepanjangan di Aceh. 

Saat kejadian, saya menginap di salah satu rumah Sabahat, Jingka Lata  (Deni) bersama Ichsan Saputra  dan juga Garry Famera di Gampong Pie. Saat gempa, kami bertiga masih dapat melihat bagaimana tanah seolah digoncang begitu dahsyat dan pagar rumah bergetar hebat hingga beberapa pengendara motor terjatuh lantaran begitu kuat gempa yang mengguncang itu.

Usai gempa berhenti, kami berpisah, saya bersama Ichsan dan juga Gerry naik satu motor bertiga untuk pulang ke rumah. Saya saat itu tinggal di Setui, sedangkan Ichsan dan Gerry di Lhong Raya. Setelah mengantar saya, mereka memacu kendaraan ke rumah masing-masing.

Yang saya ingat, sepanjang jalan waktu itu masih seperti sediakala. Namun, beberapa menit kemudian kami mendengar bahwa air laut telah naik dan kapal PLTD Apung di Ulee Lheeu telah terdampar ke daerah Blower, daerah yang paling parah dihantam air laut. Hingga kini, tentu banyak kenangan lain yang masih kami ingat. 

Berikut pula beberapa puisi yang saya dedikasikan kepada mereka para saudara, dan sahabat kami yang tak ditemukan hingga kini. Alfatihah.


Kepada Segala Ingatan 


Kepada engkau pula

rinduku tiba. Layar yang

tak asing dengan laut,

surut yang hendak

menghilangkan gema. 


Engkau pula desir angin,

yang memamah kabar

di dalamnya. Hingga ia

jadi sajak, rela diri

dilahap menjadi jejak. 


Pergilah sejauh yang

asing, katamu. Rinduku

akan sampai suatu masa.

Seperti kemilau di langit,

menuntunmu menuju tahmid. 


Jakarta, 2015 


Di Jalan Teuku Umar 


Belum lagi sampai janjiku

kau telah lebih dulu mengabarkan.

katamu, “sepasang burung di langit

membawa gemuruh berat di belakangnya.

rumah-rumah, mobil, dan sepasang boneka

terlihat begitu pandai menyimpan luka.

pergilah, jangan sampai kelihatan oleh laut,” 


dan di trotoar jalan Teuku Umar,

kulihat senyummu yang terakhir bersinar. 


dengan selembar kain

tertimbun sudah tubuhmu di dalamnya

kaku membawa gigil laut yang asin

dan terdiam sudah diriku dalam patah

sambil menelusuri kapan rindu terakhir ini

akan meledak seperti tawamu yang basah. 


2015 


Pergi ke Laut 


Agar aku tak kesepian malam ini

kuputar lagi beberapa kenangan

seolah-olah aku sedang memutar kaset

lalu mendengar gerak bayang sunyimu 


di sinilah kita sering mengeluh

tentang perang yang tak usai, ibumu yang rewel atau kakakmu yang ingin ke malaysia

kemudian bekerja lalu membeli kemewahan 


tapi pagi minggu itu

laut menyebut-nyebut namamu

kau pun pergi dan di sana ada juga:

ibumu, kakakmu, dan buku pemberianku 


aku tak menemukan manyatmu

mungkin laut tak hendak mengembalikannya

tapi walau pun patah sudah rinduku

kukirim doa pada Tuhan agar menjagamu. 


Jakarta, 2015 


Memoar Desember

:Susan 


seandainya di dadaku penuh ombak

kau pasti akan mendengar deburnya

sambil menerka sejauh mana

aku sudah menyelinapkan sunyi

tanpa ada yang bisa membacanya 


Aku masih di sini mengkhawartirkan rindu

yang kadang datang membawa namamu 


tapi hendak ke mana kusimpan rahasia ini

kau telah damai dengan bau laut

dan aku sudah lelah menunggu gelombang surut berharap kau kembali menceritakan Ule Lheu kita 

namun Desember itu menenggelamkan segalanya 


ah, kau, laut,

gerak yang tak pernah sanggup ingin kulupa. 


Jakarta, 2015


Tak Pernah Berbatas

buat Ucok


Aku digigit mimpi, terluka dan begitu

berdarah. Persis air laut yang membawa

ingatanmu. Membawanya bersama penuh

kehilangan dan keterasingan. Saat kau pulang,

kau telah melupakan dirimu yang penuh

gelora Teuku Umar.


Di jalanan, kutemukan kata-kata berserak,

penuh dengan lumpur dari laut. Kau ingin

memungutnya, tapi kukatakan tidak, sebab

kutahu betapa jarak sudah gempa dan gelombang

telah membawamu hanyut.


Kau kerap berteriak, ibu, ibu dan ibu

di setiap matamu bersinar seperti rembulan.

Tapi kau sendiri tak pernah selamat dari

ingatanmu. Aku sering bertanya, kemana

ingatanmu pergi. Dan selalu saja jawabanmu

adalah; takdir telah mencurinya darimu.


“Rumahku hancur, hatiku luka, dan ibu

jadi syuhada,” katamu, hampir seperti

menjerit dan setengah tertawa.


Aku tahu itu adalah kenangan yang begitu

Subur dalam dadamu; ibu terlepas, dan

Keponakan tak mampu kau selamatkan.

Saat tsunami, matamu berkelayap

mencari-cari Tuhan sedang di mana.


Jakarta, 2019


Foto: by Kumparan.

Posting Komentar

0 Komentar