Sebuah momentum puitik seorang penyair saja tak akan cukup untuk membuat narasi yang begitu dramatis tanpa keterikatan emosional dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Oleh Mahan Jamil Hudani
Melintas Zaman
Bagaimana kita bisa membaca masa lalu suatu masyarakat yang berada jauh dan berbeda dari kita, terlebih masa lalu itu tak dialami dan disaksikan generasi masa kini. Belum lagi jika masa lalu tersebut adalah masa yang penuh represif dari suatu rezim. Akses dan kontrol akan media begitu hegemonik dilakukan penguasa. Televisi atau radio hanya menjadi corong tunggal. Suara-suara dibungkam pada masa itu oleh aparat negara yang dikendalikan secara otoriter dan diktator oleh penguasa. Tentu semua hanya menjadi narasi bungkam yang tak akan pernah sampai pada kita. Namun tentu saja kebenaran suatu ketika akan bicara, entah dengan cara apa, oleh siapa.
Aparat negara yang di dalamnya termasuk tentara sesungguhnya memang bersifat represif karena memang mengekalkan suatu ideologi dari suatu kelompok yang kemudian menjadi penguasa. Louis Althusser menulis, “This is the fact that the (Repressive) State Apparatus functions massively and predominantly by repression (including physical repression), while functioning secondarily by ideology.”
Hal tersebutlah yang pernah kita alami beberapa waktu silam, di masa rezim Orde Baru. Penguasa negeri ini telah menjadikan tentara yang masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kala itu begitu represif di Aceh. Pemerintah memberlakukan apa yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini terjadi pada sekitar akhir tahun 1980an hingga awal tahun 1990an, masa akhir orde sebelum kemudian rezim tersebut tumbang serta masih berlanjut di masa awal reformasi.
Dalam kajian di ranah kritik sastra memang dikenal ISA’s (Ideological State Apparatuses) yang dikenalkan Louis Althusser, suatu pembacaan pada karya sastra yang jika ditarik lebih luas berada pada wilayah kritik sastra Marxisme. Tulisan ini tidak akan membahas lebih dalam tentang teori dan kritik sastra tersebut. Tulisan ini hanya sekadar pengantar bahwa peristiwa yang begitu represif tersebut pernah terjadi di negeri kita. Suatu peristiwa yang benar-benar mencekam dan meninggalkan trauma yang begitu dalam tidak hanya bagi masyarakat Aceh di masa lalu tetapi juga generasi muda yang hidup belakangan yang bisa jadi sebenarnya tak mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut.
Beberapa karya sastra yang ditulis penulis Aceh memotret peristiwa tersebut berbekal ingatan yang kekal akan hal tersebut. Tentu adalah hal yang hampir mustahil jika karya tersebut, baik dalam genre puisi atau prosa bisa diterbitkan dan dibaca khalayak pada masa tersebut. Pemberlakuan DOM telah memunculkan istilah bahwa nyawa tak lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh senapan militer, suatu hal yang sungguh hiperbolik dan tragis di negeri yang menjunjung tinggi nilai demokrasi namun faktanya adalah junta militer.
Tulisan ini akan mencoba melakukan suatu pembacaan akan potret buram masa lalu di Aceh berdasar suatu karya sastra dalam genre puisi yang ditulis oleh Pilo Poly, seorang penyair generasi muda asal Aceh. Pilo Poly adalah penyair yang sesungguhnya memiliki kepekaan luar biasa dalam menukil peristiwa-peristiwa tragis tersebut. Masa kecil Pilo juga disajikan dengan episode buram akan laras senapan dan seragam loreng meski jika ditilik dari waktu dan masa kecilnya, Pilo mengalami itu mungkin tak lama, namun betapa dahsyat dan mengerikannya peristiwa tersebut baginya. Dari puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku Arakundoe dan Puisi-puisi Lainnya, –selanjutnya disebut Arakundoe– suara dan kata berbicara pada kita, suara dan kata yang melintas zaman yang kemudian akan kekal dalam ingatan, tak hanya personal tapi juga kolektif.
Arakundoe dan Peta yang Penuh Darah
“Poetics of narrative, as we might call it, both attemps to understand the components of narrative and analyses how particular narrative achieve their effects.”
Karya sastra, apapun genrenya, termasuk puisi, bagi Jonathan Culler tetaplah menyampaikan suatu narasi. Lanjut Culler, karya sastra menuntut kemampuan seseorang mendengar dan menyampaikan cerita. Tentu ini hanya salah satu aspek saja dari sekian banyak aspek. Arakundoe adalah narasi kuat sebagaimana yang dinyatakan Culler di atas dalam mencoba memahami komponen naratif dan menganalisis suatu peristiwa untuk kemudian ditransfomasikan dalam suatu puisi. Membaca Arakundoe kita akan memasuki begitu banyak narasi namun memiliki tema seragam dalam beberapa peristiwa.
Arakundoe seperti peta yang penuh darah. Saat kita membaca puisi-puisi dalam buku ini, kita akan terhenyak betapa peta tersebut menuntun kita pada jalan, lintasan, dan perjalanan yang begitu tragis dan mengerikan. Meski begitu Arakundoe ditulis dengan komposisi yang begitu memikat. Ini adalah suatu kemampuan tersendiri ketika suatu puisi mampu membuat suatu eksposisi hingga pembaca memiliki ruang tafsir yang cukup terbuka untuk memasuki peristiwa-peristiwa yang terjadi –meskipun tragis– pada suatu masyarakat dengan tidak merasa jemu untuk melakukan suatu pembacaan ulang.
Setidaknya ada duabelas puisi yang begitu kuat mengilustrasikan pada kita peristiwa-peristiwa dalam suatu peta yang penuh darah yang akan mengekalkan ingatan kita pada tindakan represif atas nama suatu ideologi sebuah rezim yang telah membunuh banyak harapan, impian, dan masyarakat Aceh. Puisi-puisi tersebut adalah; Rumah Geudong, Beutong Ateuh, Tengku Bantaqiah, Cot Keng, Jembatan Peunayong, Arakundoe, Epitaf, Pidie Jaya, Cumbok, Kesiur Angin, Darud Dunia, dan Perahu Masa lalu.
Malam dan Kematian di Arakundoe
Meski kita, bangsa Indonesia, pernah mengalami masa represif di suatu rezim, pada dasarnya hidup kita masih berada dalam suasana yang cenderung normal, istilah ketika itu adalah stabilitas yang terjaga. Aktivitas kehidupan kita masih berjalan wajar. Masalah terbesar masyarakat kita pada masa itu, mungkin hanya sekadar kita tak memiliki kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat di muka umum, terlebih hal yang bersifat politis. Bagi rakyat kebanyakan, hal itu –membicarakan politik dan kebebasan– bukan hal prioritas sepanjang kita bisa bekerja dan menjalani hari dengan tenang. Isu stabilitas tak memiliki pengaruh besar. Pengaruh itu hanya dirasakan bagi sebagian masyarakat terpelajar atau cendikiawan yang merindukan suasana kebebasan berekspresi dan mimbar akademik.
Apa yang kita rasakan ternyata adalah suatu hal yang terbalik bagi masyarakat yang hidup di daerah lain, Aceh. Mereka hidup dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang benar-benar mengerikan. Masyarakat sipil hidup dalam apa yang disebut Michel Foucoult sebagai “panoptician”, suatu keadaan di mana semua berada dalam pengawasan atau inspeksi tanpa henti. Lebih dari itu, mereka serasa benar-benar ada dalam pemenjaraan, dan mereka yang menentang atau dicurigai sedikit saja, harus bersiap-siap dengan kematian. Kita bisa melihat suasana tersebut dalam satu judul puisi yang kemudian dijadikan judul buku oleh penulisnya.
Yang tak berhenti,
adalah bunyi suara malam di Arakundoe,
Malam keluar dari dirinya sendiri
Menjelma menjadi yang lain,
yang mampu menenangkan
Betapa risaunya magrib menyambut kengerian
Sungai-sungai,
juga buru-buru keluar dari ceruk lumpur,
tempat aduh dan derajat mengalir tanpa ditebus,
tanpa dimandikan takbir dan doa kepergian,
sebagai syarat seseorang telah tiba pada kata selesai,
dan berhenti membenci rasa sakit demi sakit
tak ada yang tahu, apakah kata-kata biak
sebelum daftar diserahkan. Daftar nama-nama
yang akan naik ke langit. Tempat seluruh
hajad terakhir dihidangkan.
(Puisi Arakundoe, hal 36)
Kita mungkin tak pernah membayangkan bagaimana mencekamnya keadaan dan suasana malam di sebuah tempat bernama Arakundoe, suatu tempat asing yang mungkin hanya kita lihat di sebuah peta. Malam seakan ingin bisa keluar dari nasib dan takdirnya yang penuh dengan kengerian. Malam di Arakundoe mungkin ingin bisa menjadi suatu malam di tempat lain di negeri ini, katakanlah malam di Jakarta, atau Medan. Malam ingin benar-benar bisa menenangkan keadaannya sendiri seusai magrib datang dan kemudian menyambutnya.
Puisi Arakundoe melukiskan suasana batin tersebut, suasana yang bisa ditangkap pembaca dengan penuh ekspresif. Malam dalam “Arakundoe” adalah malam yang akrab dengan kematian, bahkan lebih mengerikan dari itu. Bagaimana tidak, kematian di “Arakundoe” adalah kematian yang ditentukan, yang telah ditulis daftar nama-nama mereka tanpa tahu kapan giliran mereka. Daftar nama tersebut akan menemui ajal ketika telah diserahkan pada sang penjemput maut –yang tentu saja bukan Izrail– tapi sekelompok manusia lain yang sesungguhnya sama seperti orang-orang di Arakundoe.
Kondisi yang kemudian sulit kita bayangkan adalah, kematian tersebut adalah sesuatu yang tak wajar. Nyawa seseorang terletak di tangan penguasa dan kemudian jika terjadi pengeksekusian, mayat tersebut tak diketahui di mana rimbanya. Tak ada prosesi karena keluarga jenazah tak bisa memandikan, mendoakan, dan menguburkan jenazahnya. Mereka seperti tawanan yang berada di sebuah penjara yang benar-benar tak berperikemanusiaan.
Suasana batin puisi “Arakundoe” sesungguhnya bisa membuka tafsir yang lebih luas pada kita tidak saja tentang malam dan kematian yang mengerikan tetapi juga ada instrumen besar yang bermain dan berkuasa di situ. Baris pada bait pertama Yang tak berhenti, adalah bunyi suara malam di Arakundoe, sesungguhnya bisa menarik pikiran kita untuk berpikir lebih dalam tentang subjek yang bermain di situ. Mengapa bunyi suara malam tersebut tak berhenti? Lalu bunyi apakah itu? Baris ini akan mengisyaratkan dan membawa kita pada petunjuk dan tanda-tanda sesudahnya. Dengan begitu, puisi “Arakundoe” menjadi indah dan ekspresif untuk dibaca ulang dan ditelaah.
Begitu juga pada baris bait kedua, Sungai-sungai, juga buru-buru keluar dari ceruk lumpur, adalah alegori yang bisa kita dalami dengan penuh lebih seksama. Tapi apapun itu, baris tersebut makin memberi gambaran pada kita suasana yang makin menambah dramatis dan tragis tentang suatu tempat bernama Arakundoe. Kita bisa membaca suatu narasi utuh “Arakundoe”, malam yang diawali dengan magrib yang risau menyambut kengerian, daftar nama-nama yang kemudian diserahkan lalu naik ke langit, dan kematian menjemput mereka.
Sebuah Tempat Lain, Pada Ingatan yang Lain
Arakundoe mengabarkan pada kita beberapa tempat lain dengan ilustrasi yang lebih konkrit. Sebuah tempat yang menyajikan diksi penuh tragedi di tempat yang bernama “Beutong Ateuh”, yang kemudian menjadi judul puisi. Waktu dan tempat yang dinarasikan secara ilustratif disertai dengan tanda dan atribut semakin mengingatkan pada kita, bahwa ada yang menjadi dalang di balik tragedi-tragedi tersebut.
Hari masih dini, pagi itu, saat hutan-hutan
Terbangun. Gemerisik dari jauh, seperti suara
Gerimis, kecil tapi begitu basah dengan ketakutan.
Jalan-jalan yang berteduh di sisi kiri tubuh hutan,
Juga tenggelam dalam rasa nyeri. Rasa sakit yang
Menampar ulu hati tumbuhan liar.
Sungai-sungai, pesantren-pesantren, tiba-tiba diserang
Demam dari jauh. Dari gemerisik hutan, sepatu lars,
Dan suara bersin senjata.
Pagi itu, ada yang gugur, dan ada yang begitu
Remuk, selepas peluru-peluru
Dengan pongah berpesta.
19 tahun kemudian, rasa sakit itu masih
Suka berjalan-jalan di sekitar itu, tempat
Di mana Soedjono menyanyikan suara bedilnya,
Dan, tubuh-tubuh pun berdendang, tersenyum
Menuju surga. 34 orang itu, menyusul gurunya
Pulang ke rumah sebenarNya
(Beutong Ateuh, hal 28)
Puisi “Beutong Ateuh”, mampu merekam dan tampil dengan suasana batin yang penuh imajinatif dan evokatif. Jika “Arakundoe” melukiskan suasana malam, puisi Beutong Ateuh menarasikan suasana dini dan pagi hari dengan cara yang lebih detail. Suasana alam di mana hutan-hutan, gerimis, jalan-jalan, dan tumbuhan liar turut merasakan rasa nyeri dan ketakutan. Kengerian suara alam ini tentu bukan semata dekorasi seperti banyak kita temukan pada puisi-puisi para penyair. Suasana alam ini juga bukan suatu dramatisasi, tapi memang nukilan peristiwa betapa mengerikannya tragedi yang terjadi.
Beutong Ateuh serupa puisi sejarah atau bahkan puisi yang menciptakan sejarahnya sendiri yang tampil lalu mencapai klimaks. Beutong Ateuh tampak memahami apa yang ditulis Michael Holquist saat menulis tentang pemikiran Michael Bakhtin, “Poetics, as usually understood, is the study of figures that recur, and such poetics is opposed to the manifold differences that the essence of history.” Kita akan melihat di Beutong Ateuh suatu narasi yang utuh di mana nukilan peristiwa-perisriwa itu akhirnya membentuk suatu sejarah tunggalnya sendiri dan akan menjadi esensi sejarah.
Beutong Ateuh mencapai klimaks yang benar-benar tragis namun estetik. Suasana suram yang bersifat general kemudian mengantar kita pada suatu tempat yang lebih spesifik, pesantren yang tiba-tiba diserang oleh penanda yang jelas, sepatu lars dan bersin senjata. Permainan tanda ini menjadi lebih hidup di mata pembaca dengan diksi peluru-peluru yang dengan pongah berpesta. Suatu paradoks yang sesungguhnya memang sulit diterima oleh siapapun karena bagaimanapun senjata dan peluru seharusnya digunakan untuk keamanan dan mengamankan rakyat, bukan membuat orang gugur dan membuat sebagian lagi remuk, terlebih itu digunakan untuk berpesta dengan pongah.
Peristiwa atau tragedi Beutong Ateuh faktanya akan tetap hidup bahkan tetap terjadi belasan tahun kemudian. 19 tahun orang masih merasakan saat suara bedil seseorang bernyanyi di sana di antara rasa sakit yang suka berjalan-jalan di tempat itu. Kita bisa melihat dampak psikologi yang begitu dahsyat di sini. Puisi ini tentu bisa menjadi kajian yang lebih dalam bagi psikologi sastra sebagaimana tulis Minderop bahwa psikologi sastra adalah karya yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan.
Klimaks dalam Beutong Ateuh terjadi saat 34 orang menjadi korban tragedi tersebut, suatu jumlah yang sungguh tidak sedikit. Jumlah itu adalah yang menyusul sang guru yang telah menjadi korban sebelumnya. Memang bagi mereka yang menjadi korban tersebut bukan sesuatu yang menakutkan. Mereka menghadapi semua dengan dendang dan senyuman. Mereka menuju pulang ke rumah yang sebenarnya, namun bagi yang hidup dan tinggal di daerah tersebut dan bagi kita yang mendengar narasi tersebut, tentu itu akan meninggalkan trauma yang mendalam.
Pada puisi berikutnya yang berjudul “Teungku Bantaqiyah”, Pilo melakukan eksplorasi puitik pada sosok ini, sosok ulama yang setelah kematiannya pada tragedi Beutong Ateuh justru seakan menjadi hidup dan teladan bagi masyarakat sekitar meski tak dapat diingkari orang-orang mengingatnya dengan penuh kemirisan dan tragis namun penuh dengan penghormatan yang khusuk. Coba kita selami bait berikut:
Dari jarak sejauh ini, kau menjadi begitu
Mekar dan hidup. Pagar-pagar rumahmu,
Tiang-tiang kokoh pesantren tempatku
Mengeja hidup, juga terus mengirimkan doa-doa
begitu terisak dan menyedihkan
(Nukilan puisi Teungku Bantaqiyah, hal 29)
Puisi sebagai bagian karya sastra memang memiliki muatan politis meski dikemas secara naratif sekaligus imajinatif. Hal ini tentu saja merupakan poin atau bagian penting agar puisi tetap memiliki spiritnya untuk menyadarkan atau memberi stimulasi daya nalar seseorang atau pembaca. Puisi Arakundoe bisa jadi dianggap sebagai suatu politisasi bagi pembaca yang tinggal di luar atau jauh dari Aceh. Di sisi lain pembaca juga diajak tak gegabah memiliki anggapan seperti itu karena bagaimanapun Arakundoe adalah kejujuran yang dibangun dengan momentum puitiknya sendiri.
Arakundoe tak lahir dari suatu ruang hampa. Sebagaimana yang diyakini Roman Jakobson bahwa puisi adalah rangkaian pesan yang memiliki bentuk, tamsil, dan makna sastrawinya sendiri sebelum puisi berbicara tentang penyair, pembaca, dan dunia. Sangat sulit bisa kita pahami secara nalar bahwa diksi tentang kengerian, kesakitan, trauma, dan kematian bisa lahir jika peristiwa-peristiwa yang dinarasikan adalah suatu rekayasa. Sebuah momentum puitik seorang penyair saja tak akan cukup untuk membuat narasi yang begitu dramatis tanpa keterikatan emosional dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Di Cot Keng, suara senin meringkik
dan deras, jatuh bagai dini hari yang mendung
kau teringat wajah anakmu, kecil dan imut,
tapi kini harus belajar tanpa ayah
di jalan-jalan, serdadu sedang menertawakan
kampung halaman kita, ujarmu
sesekali, mereka suka jika suara bedil diledakkan
dalam mulut: lalu berdalih pemberontakan
di Cot Keng, setiap hari bendera kuning
ditancapkan dalam mata kami
(nukilan puisi Cot Keng, 1991, hal 32)
Cot Keng adalah kampung janda yang terletak di Bandar Dua, Pidie Jaya. Tentu penamaan kampung janda ini bersifat politis dan memang hasil dari suatu peritiwa yang bernuansa bahkan jelas, politik. Penyair lewat seorang narator seorang perempuan yang telah menjadi janda, sedang menarasikan nasibnya, nasib sang anak yang tak lagi memiliki ayah yang tentu telah menjadi korban.
Sesungguhnya pembaca sendiri bisa merasakan suasana batin dalam puisi tersebut. Namun jika kita dalami lebih jauh suara perempuan dalam puisi tersebut, sesungguhnya ia tak sedang mewakili dirinya sendiri. Ia mewakili nasib suatu kaum, para janda dan anak yatim suatu kampung. Ironisnya hal itu memang sengaja diciptakan. Parahnya lagi, peristiwa itu seakan lelucon yang dibuat untuk ditertawakan, sebuah potret kemanusiaan yang telah kehilangan nuraninya. Betapa mudah untuk menyukai suara bedil yang diledakkan dalam mulut lalu kemudian berdalih itu suatu pemberontakan. Betapa mudah juga kita menyaksikan kematian setiap hari seperti yang disimbolkan dengan bendera kuning. Itu terjadi di depan mata para penduduk yang sebagian besar penyaksinya adalah kaum perempuan.
mereka datang dari berbagai
ibu dan bahasa, mata mereka
seterang jalan-
jalan kota, tapi membawa perangai
lanun dari laut, saat datang,
wajah mereka bagai november
yang basah, penuh dengan
hujan kengerian
(penggalan puisi Di Pos Jaga, hal 33)
Puisi “Di Pos Jaga” mengilustrasikan hal yang serupa, kengerian. Citraan yang ditampilkan, meski berbeda, namun tak kalah menakutkan, perangai lanun. Para lanun tersebut datang dari penjuru karena memiliki ragam ibu dan bahasa. Inilah bahasa figuratif yang indah yang coba dibangun dalam puisi ini. Eksplorasi puitik yang diciptakan dan beragam tentu saja menjadi daya tarik tersendiri yang mengusik sisi ruang batin dan pikiran kita untuk menyibak suatu struktur yang utuh yang sedang Pilo ceritakan pada pembaca.
Pilo sedang juga menampar muka kita semua dengan penggunaan “berbagai ibu dan bahasa” tersebut. Itulah wajah kita, wajah yang turut menghancurkan masyarakatnya, Aceh. Meski tentu saja mereka itu hanya sekelompok orang yang sesungguhnya sudah terbaca dari judul puisi ini, orang-orang yang ada di pos jaga.
Seusai Tragedi Itu dan Ingatan Kekal yang Membangun Masa Depan
Tragedi itu kini telah usai meski ada ingatan kekal yang tak akan bisa menghapusnya begitu saja, mengusik hati dan pikiran. Namun hidup adalah semacam perjalanan yang tentu saja harus diteruskan, tak bisa berhenti di pertengahan sementara masih ada tempat tujuan yang masih jauh. Mereka orang-orang yang hidup membawa cerita luka dan duka yang mau tak mau akan diceritakan pada generasi berikutnya, sampai waktu sendiri yang bisa mengakhirinya, entah kapan itu.
kubawa namamu dalam
derap kaki ini. meski kau
cambuk aku, seolah terusir
sekian jarak waktu, tetap
dalam darah ini kau harum,
lintas sejarah yang berlayar
di tubuhku.
aku terus saja mengingatmu.
merasakan betapa jauh kau
didekap peluk ini. sepi dan
tergerus oleh kesendirian.
meski orang-orang menanak
nasi di atas tubuhmu, namun
kau lapar dan kehilangan
tempat berteduh dari banyak
kebohongan;
rumah gempa, ladang cokelat
yang sekarat, dan waduk jebol
yang belum diselesaikan,
tapi para pejabat sering foya-foya
ke Jakarta.
lihatlah. Betapa kurus gunung-
gunung kita. nelayan menjerit,
terlilit mesin bot yang mati.
petani kehabisan nasi di
lumbung padi, dan toke-toke
berpesta setiap minggu ke medan,
membawa jerih payah kita.
setiap minggu, warung-warung
kita kesepian. sebab pegawai pulang
ke kabupatennya sendiri. dan
lapangan kota Meuredu ini,
jadi kurus dan kering begini.
Sedang pejabat sehat dan muda.
(Pidie Jaya, hal 52)
Sebagian orang mencoba membangun masa depan, meski sebagian lagi justru seolah muncul seperti mereka yang telah meninggalkan cerita kelam. Ini memang suatu ironis meski faktanya hal ini banyak juga terjadi di daerah lain di negeri kita. Kekuasaan memang membuat orang bisa lupa pada cita-cita dan impian untuk membangun tanah tercinta yang sebelumnya porak poranda. Kekuasaan menciptakan tiran-tiran baru atas nama yang lain, pembangunan yang disamarkan dengan berbagai cara namun tetap saja penuh dengan kebohongan dan penghisapan.
Itu adalah potret masa kini Pidie Jaya –dan beberapa tempat lain di dalam buku puisi ini– yang juga sangat mungkin sama seperti daerah-daerah lain namun bedanya daerah ini masih menyimpan trauma yang dalam dan sangat kelam. Pejabat yang sering foya-foya di Jakarta dengan tubuh sehat dan muda juga para toke yang sering berpesta ke kota lain menyisakan hanya orang lapar dan kehilangan tempat berteduh, juga nelayan yang menjerit.
Puisi “Pidie Jaya” tak hanya mengisahkan sekadar kesuraman dan kontradiksi namun juga membangun harapan dengan cara yang kontroversial dan penuh dengan rasa optimisme akan masa depan. Ada rasa penghormatan dan penghargaan meski juga tetap menyimpan rasa sakit seperti yang kita baca pada bait pertama. Derap kaki yang membawa kota kelahiran dengan rasa terusir dan tercambuk namun tetap harum dalam darah menyiratkan rasa cinta yang mendalam. Keterikatan secara emosional akan tanah kelahiran bisa jadi milik semua orang meski nasib dan cerita tragis serta kesakitan tak mudah membuat orang untuk tetap peduli dan menyimpan rasa cinta yang tulus.
Kesiur angin, membaca kekecewaanmu. Maka dia
Terus menamparmu dengan kabar-kabar baik.
Bahwa, kata dia, hidup adalah guguran daun.
Siapa saja bisa terhempas ke tanah. Layu dan
terabaikan. Tapi, dia melanjutkan, setelah kau
berhasil memerangi dirimu sendiri,
mengapa kalah hanya dengan sebuah kekecewaan?
Kau pun tertawa, dan, sedetik kemudian, kau melumat
semua nyeri itu dengan meninggalkan kekecewaanmu.
Persis seperti gugur daun; tapi kau tak terhempas ke tanah,
namun ke langit. Biru dan begitu laut seperti luas dadamu.
Dan kau pun berlayar ke muara masa depan.
(penggalan puisi Kesiur Angin, hal 57)]
Orang akhirnya tetap memilih masa depan. Hal buruk yang menyakitkan adalah pelajaran. Kita memang membutuhkan orang lain untuk mengobati sakit dan kecewa kita walau pada titik akhir, kita sendirilah yang menentukan dan menjalani hidup ini. Puisi “Kesiur Angin” setidaknya menjadi suatu dialektika antara kita dengan alam, suatu hal di luar manusia. Alam memberi banyak pelajaran. Angin tak sekadar membawa kabar buruk atau yang tak jelas seperti yang kita ketahui selama ini. Angin pun membawa kabar-kabar baik yang paham membaca arah hidup manusia. Angin tak hanya menghempaskan kita ke tanah namun juga mengajarkan bahwa manusia pernah jatuh, dan pasti akan bangkit.
Kita harus mampu memerangi diri kita sendiri, segala rasa kecewa dan kesakitan kita sendiri. Optimisme “Kesiur Angin” bukan sekadar hiburan tanpa penyelesaian. Ini pelajaran dan tamparan bahwa manusia memiliki eksistensi yang tak bisa mati begitu saja. Ada muara masa depan bagi mereka yang hidup. Kita harus berlayar, tak boleh kalah hanya dengan sekadar kekecewaan. Dada kita begitu luas, sangat luas untuk menampung segala rasa. Saat kita tertawa, itu bisa melumat semua rasa nyeri dan kecewa hanya dalam sedetik. Inilah hidup, jatuh, bangkit, kecewa, ketawa, dan pelayaran pada masa depan.
Kesimpulan
Wellek dan Austin menulis, “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa”.
Puisi-puisi di Arakundoe membangun dan meneguhkan sebagai institusi sosial yang juga tak bisa lepas dari institusi lainnya, ideologi, politik, pemerintahan, dan struktur masyarakat. Lalu kemudian apakah sang penyair hanya sedang dan mampu menyampaikan dan menyuarakan saja persoalan-persoalan tersebut? Pada tataran awal bisa jadi seperti itu. Penyampaian peristiwa tersebut sendiri sesungguhnya telah bersifat politis namun puitik. Ini yang kemudian membuat puisi memiliki cara ungkap yang unik sekaligus edukatif.
Kita bisa membaca Arakundoe ini dengan ragam perspektif. Dari situ kita bisa melihat dan menelusuri titik dan fokus mana yang paling tepat untuk turut mengambil peran atau bagian terhadap pesan dan suara yang disampaikan. Pembelajaran ini sangat berharga bahwa ternyata puisi, sastra, atau teks dan penulis membuat suatu sinergi yang positif pada masyarakatnya. Pembaca di luar nanti juga akan terbawa untuk mengambil posisi. Hal inilah nanti yang akan memungkinkan dan membuat teks sebagai sesuatu yang hidup dan bermanfaat bagi banyak orang.
Daftar Pustaka
1. Brooker, Peter, Selden Raman, and Widdowson, Peter, ed., A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (London, Prentice Hall, 1997, fourth edition)
2. Culler, Jonathan, Literary Theory: A Very Short Introduction (Oxford, Oxford University Press, 2000)
3. Holquist, Michael, Bakhtin and His World (London and New York, Roudledge, 1991, reprinted)
4. Minderop, Albertin, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus (Jakarta, Buku Obor, 2018, cet kelima)
5. Poly, Pilo, Arakundoe dan Puisi-puisi Lainnya (Jakarta, 2018)
6. Rice, Philip, and Waugh, Patricia, Modern Literary Theory (London, Arnold, 1996, third edition)
7. Warren, Austin, and Wellek, Rene, Teori Kesusastraan (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2016, cet keenam, terj)
Bagaimana kita bisa membaca masa lalu suatu masyarakat yang berada jauh dan berbeda dari kita, terlebih masa lalu itu tak dialami dan disaksikan generasi masa kini. Belum lagi jika masa lalu tersebut adalah masa yang penuh represif dari suatu rezim. Akses dan kontrol akan media begitu hegemonik dilakukan penguasa. Televisi atau radio hanya menjadi corong tunggal. Suara-suara dibungkam pada masa itu oleh aparat negara yang dikendalikan secara otoriter dan diktator oleh penguasa. Tentu semua hanya menjadi narasi bungkam yang tak akan pernah sampai pada kita. Namun tentu saja kebenaran suatu ketika akan bicara, entah dengan cara apa, oleh siapa.
Aparat negara yang di dalamnya termasuk tentara sesungguhnya memang bersifat represif karena memang mengekalkan suatu ideologi dari suatu kelompok yang kemudian menjadi penguasa. Louis Althusser menulis, “This is the fact that the (Repressive) State Apparatus functions massively and predominantly by repression (including physical repression), while functioning secondarily by ideology.”
Hal tersebutlah yang pernah kita alami beberapa waktu silam, di masa rezim Orde Baru. Penguasa negeri ini telah menjadikan tentara yang masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kala itu begitu represif di Aceh. Pemerintah memberlakukan apa yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini terjadi pada sekitar akhir tahun 1980an hingga awal tahun 1990an, masa akhir orde sebelum kemudian rezim tersebut tumbang serta masih berlanjut di masa awal reformasi.
Dalam kajian di ranah kritik sastra memang dikenal ISA’s (Ideological State Apparatuses) yang dikenalkan Louis Althusser, suatu pembacaan pada karya sastra yang jika ditarik lebih luas berada pada wilayah kritik sastra Marxisme. Tulisan ini tidak akan membahas lebih dalam tentang teori dan kritik sastra tersebut. Tulisan ini hanya sekadar pengantar bahwa peristiwa yang begitu represif tersebut pernah terjadi di negeri kita. Suatu peristiwa yang benar-benar mencekam dan meninggalkan trauma yang begitu dalam tidak hanya bagi masyarakat Aceh di masa lalu tetapi juga generasi muda yang hidup belakangan yang bisa jadi sebenarnya tak mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut.
Beberapa karya sastra yang ditulis penulis Aceh memotret peristiwa tersebut berbekal ingatan yang kekal akan hal tersebut. Tentu adalah hal yang hampir mustahil jika karya tersebut, baik dalam genre puisi atau prosa bisa diterbitkan dan dibaca khalayak pada masa tersebut. Pemberlakuan DOM telah memunculkan istilah bahwa nyawa tak lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh senapan militer, suatu hal yang sungguh hiperbolik dan tragis di negeri yang menjunjung tinggi nilai demokrasi namun faktanya adalah junta militer.
Tulisan ini akan mencoba melakukan suatu pembacaan akan potret buram masa lalu di Aceh berdasar suatu karya sastra dalam genre puisi yang ditulis oleh Pilo Poly, seorang penyair generasi muda asal Aceh. Pilo Poly adalah penyair yang sesungguhnya memiliki kepekaan luar biasa dalam menukil peristiwa-peristiwa tragis tersebut. Masa kecil Pilo juga disajikan dengan episode buram akan laras senapan dan seragam loreng meski jika ditilik dari waktu dan masa kecilnya, Pilo mengalami itu mungkin tak lama, namun betapa dahsyat dan mengerikannya peristiwa tersebut baginya. Dari puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku Arakundoe dan Puisi-puisi Lainnya, –selanjutnya disebut Arakundoe– suara dan kata berbicara pada kita, suara dan kata yang melintas zaman yang kemudian akan kekal dalam ingatan, tak hanya personal tapi juga kolektif.
Arakundoe dan Peta yang Penuh Darah
“Poetics of narrative, as we might call it, both attemps to understand the components of narrative and analyses how particular narrative achieve their effects.”
Karya sastra, apapun genrenya, termasuk puisi, bagi Jonathan Culler tetaplah menyampaikan suatu narasi. Lanjut Culler, karya sastra menuntut kemampuan seseorang mendengar dan menyampaikan cerita. Tentu ini hanya salah satu aspek saja dari sekian banyak aspek. Arakundoe adalah narasi kuat sebagaimana yang dinyatakan Culler di atas dalam mencoba memahami komponen naratif dan menganalisis suatu peristiwa untuk kemudian ditransfomasikan dalam suatu puisi. Membaca Arakundoe kita akan memasuki begitu banyak narasi namun memiliki tema seragam dalam beberapa peristiwa.
Arakundoe seperti peta yang penuh darah. Saat kita membaca puisi-puisi dalam buku ini, kita akan terhenyak betapa peta tersebut menuntun kita pada jalan, lintasan, dan perjalanan yang begitu tragis dan mengerikan. Meski begitu Arakundoe ditulis dengan komposisi yang begitu memikat. Ini adalah suatu kemampuan tersendiri ketika suatu puisi mampu membuat suatu eksposisi hingga pembaca memiliki ruang tafsir yang cukup terbuka untuk memasuki peristiwa-peristiwa yang terjadi –meskipun tragis– pada suatu masyarakat dengan tidak merasa jemu untuk melakukan suatu pembacaan ulang.
Setidaknya ada duabelas puisi yang begitu kuat mengilustrasikan pada kita peristiwa-peristiwa dalam suatu peta yang penuh darah yang akan mengekalkan ingatan kita pada tindakan represif atas nama suatu ideologi sebuah rezim yang telah membunuh banyak harapan, impian, dan masyarakat Aceh. Puisi-puisi tersebut adalah; Rumah Geudong, Beutong Ateuh, Tengku Bantaqiah, Cot Keng, Jembatan Peunayong, Arakundoe, Epitaf, Pidie Jaya, Cumbok, Kesiur Angin, Darud Dunia, dan Perahu Masa lalu.
Malam dan Kematian di Arakundoe
Meski kita, bangsa Indonesia, pernah mengalami masa represif di suatu rezim, pada dasarnya hidup kita masih berada dalam suasana yang cenderung normal, istilah ketika itu adalah stabilitas yang terjaga. Aktivitas kehidupan kita masih berjalan wajar. Masalah terbesar masyarakat kita pada masa itu, mungkin hanya sekadar kita tak memiliki kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat di muka umum, terlebih hal yang bersifat politis. Bagi rakyat kebanyakan, hal itu –membicarakan politik dan kebebasan– bukan hal prioritas sepanjang kita bisa bekerja dan menjalani hari dengan tenang. Isu stabilitas tak memiliki pengaruh besar. Pengaruh itu hanya dirasakan bagi sebagian masyarakat terpelajar atau cendikiawan yang merindukan suasana kebebasan berekspresi dan mimbar akademik.
Apa yang kita rasakan ternyata adalah suatu hal yang terbalik bagi masyarakat yang hidup di daerah lain, Aceh. Mereka hidup dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang benar-benar mengerikan. Masyarakat sipil hidup dalam apa yang disebut Michel Foucoult sebagai “panoptician”, suatu keadaan di mana semua berada dalam pengawasan atau inspeksi tanpa henti. Lebih dari itu, mereka serasa benar-benar ada dalam pemenjaraan, dan mereka yang menentang atau dicurigai sedikit saja, harus bersiap-siap dengan kematian. Kita bisa melihat suasana tersebut dalam satu judul puisi yang kemudian dijadikan judul buku oleh penulisnya.
Yang tak berhenti,
adalah bunyi suara malam di Arakundoe,
Malam keluar dari dirinya sendiri
Menjelma menjadi yang lain,
yang mampu menenangkan
Betapa risaunya magrib menyambut kengerian
Sungai-sungai,
juga buru-buru keluar dari ceruk lumpur,
tempat aduh dan derajat mengalir tanpa ditebus,
tanpa dimandikan takbir dan doa kepergian,
sebagai syarat seseorang telah tiba pada kata selesai,
dan berhenti membenci rasa sakit demi sakit
tak ada yang tahu, apakah kata-kata biak
sebelum daftar diserahkan. Daftar nama-nama
yang akan naik ke langit. Tempat seluruh
hajad terakhir dihidangkan.
(Puisi Arakundoe, hal 36)
Kita mungkin tak pernah membayangkan bagaimana mencekamnya keadaan dan suasana malam di sebuah tempat bernama Arakundoe, suatu tempat asing yang mungkin hanya kita lihat di sebuah peta. Malam seakan ingin bisa keluar dari nasib dan takdirnya yang penuh dengan kengerian. Malam di Arakundoe mungkin ingin bisa menjadi suatu malam di tempat lain di negeri ini, katakanlah malam di Jakarta, atau Medan. Malam ingin benar-benar bisa menenangkan keadaannya sendiri seusai magrib datang dan kemudian menyambutnya.
Puisi Arakundoe melukiskan suasana batin tersebut, suasana yang bisa ditangkap pembaca dengan penuh ekspresif. Malam dalam “Arakundoe” adalah malam yang akrab dengan kematian, bahkan lebih mengerikan dari itu. Bagaimana tidak, kematian di “Arakundoe” adalah kematian yang ditentukan, yang telah ditulis daftar nama-nama mereka tanpa tahu kapan giliran mereka. Daftar nama tersebut akan menemui ajal ketika telah diserahkan pada sang penjemput maut –yang tentu saja bukan Izrail– tapi sekelompok manusia lain yang sesungguhnya sama seperti orang-orang di Arakundoe.
Kondisi yang kemudian sulit kita bayangkan adalah, kematian tersebut adalah sesuatu yang tak wajar. Nyawa seseorang terletak di tangan penguasa dan kemudian jika terjadi pengeksekusian, mayat tersebut tak diketahui di mana rimbanya. Tak ada prosesi karena keluarga jenazah tak bisa memandikan, mendoakan, dan menguburkan jenazahnya. Mereka seperti tawanan yang berada di sebuah penjara yang benar-benar tak berperikemanusiaan.
Suasana batin puisi “Arakundoe” sesungguhnya bisa membuka tafsir yang lebih luas pada kita tidak saja tentang malam dan kematian yang mengerikan tetapi juga ada instrumen besar yang bermain dan berkuasa di situ. Baris pada bait pertama Yang tak berhenti, adalah bunyi suara malam di Arakundoe, sesungguhnya bisa menarik pikiran kita untuk berpikir lebih dalam tentang subjek yang bermain di situ. Mengapa bunyi suara malam tersebut tak berhenti? Lalu bunyi apakah itu? Baris ini akan mengisyaratkan dan membawa kita pada petunjuk dan tanda-tanda sesudahnya. Dengan begitu, puisi “Arakundoe” menjadi indah dan ekspresif untuk dibaca ulang dan ditelaah.
Begitu juga pada baris bait kedua, Sungai-sungai, juga buru-buru keluar dari ceruk lumpur, adalah alegori yang bisa kita dalami dengan penuh lebih seksama. Tapi apapun itu, baris tersebut makin memberi gambaran pada kita suasana yang makin menambah dramatis dan tragis tentang suatu tempat bernama Arakundoe. Kita bisa membaca suatu narasi utuh “Arakundoe”, malam yang diawali dengan magrib yang risau menyambut kengerian, daftar nama-nama yang kemudian diserahkan lalu naik ke langit, dan kematian menjemput mereka.
Sebuah Tempat Lain, Pada Ingatan yang Lain
Arakundoe mengabarkan pada kita beberapa tempat lain dengan ilustrasi yang lebih konkrit. Sebuah tempat yang menyajikan diksi penuh tragedi di tempat yang bernama “Beutong Ateuh”, yang kemudian menjadi judul puisi. Waktu dan tempat yang dinarasikan secara ilustratif disertai dengan tanda dan atribut semakin mengingatkan pada kita, bahwa ada yang menjadi dalang di balik tragedi-tragedi tersebut.
Hari masih dini, pagi itu, saat hutan-hutan
Terbangun. Gemerisik dari jauh, seperti suara
Gerimis, kecil tapi begitu basah dengan ketakutan.
Jalan-jalan yang berteduh di sisi kiri tubuh hutan,
Juga tenggelam dalam rasa nyeri. Rasa sakit yang
Menampar ulu hati tumbuhan liar.
Sungai-sungai, pesantren-pesantren, tiba-tiba diserang
Demam dari jauh. Dari gemerisik hutan, sepatu lars,
Dan suara bersin senjata.
Pagi itu, ada yang gugur, dan ada yang begitu
Remuk, selepas peluru-peluru
Dengan pongah berpesta.
19 tahun kemudian, rasa sakit itu masih
Suka berjalan-jalan di sekitar itu, tempat
Di mana Soedjono menyanyikan suara bedilnya,
Dan, tubuh-tubuh pun berdendang, tersenyum
Menuju surga. 34 orang itu, menyusul gurunya
Pulang ke rumah sebenarNya
(Beutong Ateuh, hal 28)
Puisi “Beutong Ateuh”, mampu merekam dan tampil dengan suasana batin yang penuh imajinatif dan evokatif. Jika “Arakundoe” melukiskan suasana malam, puisi Beutong Ateuh menarasikan suasana dini dan pagi hari dengan cara yang lebih detail. Suasana alam di mana hutan-hutan, gerimis, jalan-jalan, dan tumbuhan liar turut merasakan rasa nyeri dan ketakutan. Kengerian suara alam ini tentu bukan semata dekorasi seperti banyak kita temukan pada puisi-puisi para penyair. Suasana alam ini juga bukan suatu dramatisasi, tapi memang nukilan peristiwa betapa mengerikannya tragedi yang terjadi.
Beutong Ateuh serupa puisi sejarah atau bahkan puisi yang menciptakan sejarahnya sendiri yang tampil lalu mencapai klimaks. Beutong Ateuh tampak memahami apa yang ditulis Michael Holquist saat menulis tentang pemikiran Michael Bakhtin, “Poetics, as usually understood, is the study of figures that recur, and such poetics is opposed to the manifold differences that the essence of history.” Kita akan melihat di Beutong Ateuh suatu narasi yang utuh di mana nukilan peristiwa-perisriwa itu akhirnya membentuk suatu sejarah tunggalnya sendiri dan akan menjadi esensi sejarah.
Beutong Ateuh mencapai klimaks yang benar-benar tragis namun estetik. Suasana suram yang bersifat general kemudian mengantar kita pada suatu tempat yang lebih spesifik, pesantren yang tiba-tiba diserang oleh penanda yang jelas, sepatu lars dan bersin senjata. Permainan tanda ini menjadi lebih hidup di mata pembaca dengan diksi peluru-peluru yang dengan pongah berpesta. Suatu paradoks yang sesungguhnya memang sulit diterima oleh siapapun karena bagaimanapun senjata dan peluru seharusnya digunakan untuk keamanan dan mengamankan rakyat, bukan membuat orang gugur dan membuat sebagian lagi remuk, terlebih itu digunakan untuk berpesta dengan pongah.
Peristiwa atau tragedi Beutong Ateuh faktanya akan tetap hidup bahkan tetap terjadi belasan tahun kemudian. 19 tahun orang masih merasakan saat suara bedil seseorang bernyanyi di sana di antara rasa sakit yang suka berjalan-jalan di tempat itu. Kita bisa melihat dampak psikologi yang begitu dahsyat di sini. Puisi ini tentu bisa menjadi kajian yang lebih dalam bagi psikologi sastra sebagaimana tulis Minderop bahwa psikologi sastra adalah karya yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan.
Klimaks dalam Beutong Ateuh terjadi saat 34 orang menjadi korban tragedi tersebut, suatu jumlah yang sungguh tidak sedikit. Jumlah itu adalah yang menyusul sang guru yang telah menjadi korban sebelumnya. Memang bagi mereka yang menjadi korban tersebut bukan sesuatu yang menakutkan. Mereka menghadapi semua dengan dendang dan senyuman. Mereka menuju pulang ke rumah yang sebenarnya, namun bagi yang hidup dan tinggal di daerah tersebut dan bagi kita yang mendengar narasi tersebut, tentu itu akan meninggalkan trauma yang mendalam.
Pada puisi berikutnya yang berjudul “Teungku Bantaqiyah”, Pilo melakukan eksplorasi puitik pada sosok ini, sosok ulama yang setelah kematiannya pada tragedi Beutong Ateuh justru seakan menjadi hidup dan teladan bagi masyarakat sekitar meski tak dapat diingkari orang-orang mengingatnya dengan penuh kemirisan dan tragis namun penuh dengan penghormatan yang khusuk. Coba kita selami bait berikut:
Dari jarak sejauh ini, kau menjadi begitu
Mekar dan hidup. Pagar-pagar rumahmu,
Tiang-tiang kokoh pesantren tempatku
Mengeja hidup, juga terus mengirimkan doa-doa
begitu terisak dan menyedihkan
(Nukilan puisi Teungku Bantaqiyah, hal 29)
Puisi sebagai bagian karya sastra memang memiliki muatan politis meski dikemas secara naratif sekaligus imajinatif. Hal ini tentu saja merupakan poin atau bagian penting agar puisi tetap memiliki spiritnya untuk menyadarkan atau memberi stimulasi daya nalar seseorang atau pembaca. Puisi Arakundoe bisa jadi dianggap sebagai suatu politisasi bagi pembaca yang tinggal di luar atau jauh dari Aceh. Di sisi lain pembaca juga diajak tak gegabah memiliki anggapan seperti itu karena bagaimanapun Arakundoe adalah kejujuran yang dibangun dengan momentum puitiknya sendiri.
Arakundoe tak lahir dari suatu ruang hampa. Sebagaimana yang diyakini Roman Jakobson bahwa puisi adalah rangkaian pesan yang memiliki bentuk, tamsil, dan makna sastrawinya sendiri sebelum puisi berbicara tentang penyair, pembaca, dan dunia. Sangat sulit bisa kita pahami secara nalar bahwa diksi tentang kengerian, kesakitan, trauma, dan kematian bisa lahir jika peristiwa-peristiwa yang dinarasikan adalah suatu rekayasa. Sebuah momentum puitik seorang penyair saja tak akan cukup untuk membuat narasi yang begitu dramatis tanpa keterikatan emosional dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Di Cot Keng, suara senin meringkik
dan deras, jatuh bagai dini hari yang mendung
kau teringat wajah anakmu, kecil dan imut,
tapi kini harus belajar tanpa ayah
di jalan-jalan, serdadu sedang menertawakan
kampung halaman kita, ujarmu
sesekali, mereka suka jika suara bedil diledakkan
dalam mulut: lalu berdalih pemberontakan
di Cot Keng, setiap hari bendera kuning
ditancapkan dalam mata kami
(nukilan puisi Cot Keng, 1991, hal 32)
Cot Keng adalah kampung janda yang terletak di Bandar Dua, Pidie Jaya. Tentu penamaan kampung janda ini bersifat politis dan memang hasil dari suatu peritiwa yang bernuansa bahkan jelas, politik. Penyair lewat seorang narator seorang perempuan yang telah menjadi janda, sedang menarasikan nasibnya, nasib sang anak yang tak lagi memiliki ayah yang tentu telah menjadi korban.
Sesungguhnya pembaca sendiri bisa merasakan suasana batin dalam puisi tersebut. Namun jika kita dalami lebih jauh suara perempuan dalam puisi tersebut, sesungguhnya ia tak sedang mewakili dirinya sendiri. Ia mewakili nasib suatu kaum, para janda dan anak yatim suatu kampung. Ironisnya hal itu memang sengaja diciptakan. Parahnya lagi, peristiwa itu seakan lelucon yang dibuat untuk ditertawakan, sebuah potret kemanusiaan yang telah kehilangan nuraninya. Betapa mudah untuk menyukai suara bedil yang diledakkan dalam mulut lalu kemudian berdalih itu suatu pemberontakan. Betapa mudah juga kita menyaksikan kematian setiap hari seperti yang disimbolkan dengan bendera kuning. Itu terjadi di depan mata para penduduk yang sebagian besar penyaksinya adalah kaum perempuan.
mereka datang dari berbagai
ibu dan bahasa, mata mereka
seterang jalan-
jalan kota, tapi membawa perangai
lanun dari laut, saat datang,
wajah mereka bagai november
yang basah, penuh dengan
hujan kengerian
(penggalan puisi Di Pos Jaga, hal 33)
Puisi “Di Pos Jaga” mengilustrasikan hal yang serupa, kengerian. Citraan yang ditampilkan, meski berbeda, namun tak kalah menakutkan, perangai lanun. Para lanun tersebut datang dari penjuru karena memiliki ragam ibu dan bahasa. Inilah bahasa figuratif yang indah yang coba dibangun dalam puisi ini. Eksplorasi puitik yang diciptakan dan beragam tentu saja menjadi daya tarik tersendiri yang mengusik sisi ruang batin dan pikiran kita untuk menyibak suatu struktur yang utuh yang sedang Pilo ceritakan pada pembaca.
Pilo sedang juga menampar muka kita semua dengan penggunaan “berbagai ibu dan bahasa” tersebut. Itulah wajah kita, wajah yang turut menghancurkan masyarakatnya, Aceh. Meski tentu saja mereka itu hanya sekelompok orang yang sesungguhnya sudah terbaca dari judul puisi ini, orang-orang yang ada di pos jaga.
Seusai Tragedi Itu dan Ingatan Kekal yang Membangun Masa Depan
Tragedi itu kini telah usai meski ada ingatan kekal yang tak akan bisa menghapusnya begitu saja, mengusik hati dan pikiran. Namun hidup adalah semacam perjalanan yang tentu saja harus diteruskan, tak bisa berhenti di pertengahan sementara masih ada tempat tujuan yang masih jauh. Mereka orang-orang yang hidup membawa cerita luka dan duka yang mau tak mau akan diceritakan pada generasi berikutnya, sampai waktu sendiri yang bisa mengakhirinya, entah kapan itu.
kubawa namamu dalam
derap kaki ini. meski kau
cambuk aku, seolah terusir
sekian jarak waktu, tetap
dalam darah ini kau harum,
lintas sejarah yang berlayar
di tubuhku.
aku terus saja mengingatmu.
merasakan betapa jauh kau
didekap peluk ini. sepi dan
tergerus oleh kesendirian.
meski orang-orang menanak
nasi di atas tubuhmu, namun
kau lapar dan kehilangan
tempat berteduh dari banyak
kebohongan;
rumah gempa, ladang cokelat
yang sekarat, dan waduk jebol
yang belum diselesaikan,
tapi para pejabat sering foya-foya
ke Jakarta.
lihatlah. Betapa kurus gunung-
gunung kita. nelayan menjerit,
terlilit mesin bot yang mati.
petani kehabisan nasi di
lumbung padi, dan toke-toke
berpesta setiap minggu ke medan,
membawa jerih payah kita.
setiap minggu, warung-warung
kita kesepian. sebab pegawai pulang
ke kabupatennya sendiri. dan
lapangan kota Meuredu ini,
jadi kurus dan kering begini.
Sedang pejabat sehat dan muda.
(Pidie Jaya, hal 52)
Sebagian orang mencoba membangun masa depan, meski sebagian lagi justru seolah muncul seperti mereka yang telah meninggalkan cerita kelam. Ini memang suatu ironis meski faktanya hal ini banyak juga terjadi di daerah lain di negeri kita. Kekuasaan memang membuat orang bisa lupa pada cita-cita dan impian untuk membangun tanah tercinta yang sebelumnya porak poranda. Kekuasaan menciptakan tiran-tiran baru atas nama yang lain, pembangunan yang disamarkan dengan berbagai cara namun tetap saja penuh dengan kebohongan dan penghisapan.
Itu adalah potret masa kini Pidie Jaya –dan beberapa tempat lain di dalam buku puisi ini– yang juga sangat mungkin sama seperti daerah-daerah lain namun bedanya daerah ini masih menyimpan trauma yang dalam dan sangat kelam. Pejabat yang sering foya-foya di Jakarta dengan tubuh sehat dan muda juga para toke yang sering berpesta ke kota lain menyisakan hanya orang lapar dan kehilangan tempat berteduh, juga nelayan yang menjerit.
Puisi “Pidie Jaya” tak hanya mengisahkan sekadar kesuraman dan kontradiksi namun juga membangun harapan dengan cara yang kontroversial dan penuh dengan rasa optimisme akan masa depan. Ada rasa penghormatan dan penghargaan meski juga tetap menyimpan rasa sakit seperti yang kita baca pada bait pertama. Derap kaki yang membawa kota kelahiran dengan rasa terusir dan tercambuk namun tetap harum dalam darah menyiratkan rasa cinta yang mendalam. Keterikatan secara emosional akan tanah kelahiran bisa jadi milik semua orang meski nasib dan cerita tragis serta kesakitan tak mudah membuat orang untuk tetap peduli dan menyimpan rasa cinta yang tulus.
Kesiur angin, membaca kekecewaanmu. Maka dia
Terus menamparmu dengan kabar-kabar baik.
Bahwa, kata dia, hidup adalah guguran daun.
Siapa saja bisa terhempas ke tanah. Layu dan
terabaikan. Tapi, dia melanjutkan, setelah kau
berhasil memerangi dirimu sendiri,
mengapa kalah hanya dengan sebuah kekecewaan?
Kau pun tertawa, dan, sedetik kemudian, kau melumat
semua nyeri itu dengan meninggalkan kekecewaanmu.
Persis seperti gugur daun; tapi kau tak terhempas ke tanah,
namun ke langit. Biru dan begitu laut seperti luas dadamu.
Dan kau pun berlayar ke muara masa depan.
(penggalan puisi Kesiur Angin, hal 57)]
Orang akhirnya tetap memilih masa depan. Hal buruk yang menyakitkan adalah pelajaran. Kita memang membutuhkan orang lain untuk mengobati sakit dan kecewa kita walau pada titik akhir, kita sendirilah yang menentukan dan menjalani hidup ini. Puisi “Kesiur Angin” setidaknya menjadi suatu dialektika antara kita dengan alam, suatu hal di luar manusia. Alam memberi banyak pelajaran. Angin tak sekadar membawa kabar buruk atau yang tak jelas seperti yang kita ketahui selama ini. Angin pun membawa kabar-kabar baik yang paham membaca arah hidup manusia. Angin tak hanya menghempaskan kita ke tanah namun juga mengajarkan bahwa manusia pernah jatuh, dan pasti akan bangkit.
Kita harus mampu memerangi diri kita sendiri, segala rasa kecewa dan kesakitan kita sendiri. Optimisme “Kesiur Angin” bukan sekadar hiburan tanpa penyelesaian. Ini pelajaran dan tamparan bahwa manusia memiliki eksistensi yang tak bisa mati begitu saja. Ada muara masa depan bagi mereka yang hidup. Kita harus berlayar, tak boleh kalah hanya dengan sekadar kekecewaan. Dada kita begitu luas, sangat luas untuk menampung segala rasa. Saat kita tertawa, itu bisa melumat semua rasa nyeri dan kecewa hanya dalam sedetik. Inilah hidup, jatuh, bangkit, kecewa, ketawa, dan pelayaran pada masa depan.
Kesimpulan
Wellek dan Austin menulis, “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa”.
Puisi-puisi di Arakundoe membangun dan meneguhkan sebagai institusi sosial yang juga tak bisa lepas dari institusi lainnya, ideologi, politik, pemerintahan, dan struktur masyarakat. Lalu kemudian apakah sang penyair hanya sedang dan mampu menyampaikan dan menyuarakan saja persoalan-persoalan tersebut? Pada tataran awal bisa jadi seperti itu. Penyampaian peristiwa tersebut sendiri sesungguhnya telah bersifat politis namun puitik. Ini yang kemudian membuat puisi memiliki cara ungkap yang unik sekaligus edukatif.
Kita bisa membaca Arakundoe ini dengan ragam perspektif. Dari situ kita bisa melihat dan menelusuri titik dan fokus mana yang paling tepat untuk turut mengambil peran atau bagian terhadap pesan dan suara yang disampaikan. Pembelajaran ini sangat berharga bahwa ternyata puisi, sastra, atau teks dan penulis membuat suatu sinergi yang positif pada masyarakatnya. Pembaca di luar nanti juga akan terbawa untuk mengambil posisi. Hal inilah nanti yang akan memungkinkan dan membuat teks sebagai sesuatu yang hidup dan bermanfaat bagi banyak orang.
Daftar Pustaka
1. Brooker, Peter, Selden Raman, and Widdowson, Peter, ed., A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (London, Prentice Hall, 1997, fourth edition)
2. Culler, Jonathan, Literary Theory: A Very Short Introduction (Oxford, Oxford University Press, 2000)
3. Holquist, Michael, Bakhtin and His World (London and New York, Roudledge, 1991, reprinted)
4. Minderop, Albertin, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus (Jakarta, Buku Obor, 2018, cet kelima)
5. Poly, Pilo, Arakundoe dan Puisi-puisi Lainnya (Jakarta, 2018)
6. Rice, Philip, and Waugh, Patricia, Modern Literary Theory (London, Arnold, 1996, third edition)
7. Warren, Austin, and Wellek, Rene, Teori Kesusastraan (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2016, cet keenam, terj)
1 Komentar