Sosok Rusdi Mathari hingga dikenal luas sebagai wartawan yang memegang teguh pakem-pakem tradisional dalam menulis
“Bagaimana Bang Nezar mengenal Rusdi Mathari Baik Sebagai Pribadi dan Jurnalis?”
Pertanyaan itu disampaikan Arlian Buana, Jurnalis Tirto sekaligus moderator acara mingguan klub buku jambu kepada Pimpinan Redaksi Jakarta Post, Nezar Patria.
Malam itu, Nezar menjadi pembicara tunggal pada kegiatan klub buku jambu yang diadakan setiap malam Selasa, di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat, yang juga kantor geotimes.co.id.
Bagi sebagian wartawan muda, pertanyaan ini menjadi keterwakilan untuk melihat sejauh mana sosok Rusdi Mathari dikenal oleh orang-orang yang dekat dengannya. Sebagai seorang wartawan yang telah berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama hampir 24 tahun, tentu saja berbagai pengalaman telah diraih lelaki kelahiran Situbondo, 12 Oktober 1967 itu.
Sebagai wartawan senior dan penulis, banyak juga orang mengenang sosok Rusdi sebagai wartawan yang “keras kepala”.
Dia tercatat pernah bekerja sebagai freelancer di Suara Pembaruan (1990-1994), Redaktur InfoBank (1994-2000), situs berita detikcom, penanggung jawab rubrik PDAT Majalah Tempo (2001-2002), redaktur Majalah Trust (2002-2005), Redaktur Pelaksana Koran Jakarta (2009-2010), Redaktur Pelaksana BeritaSatu (2010-2011), dan Pemimpin Redaksi VHR Media (2012-2013).
Ketika kabar duka menyelimuti dunia pers tentang kepergian Rusdi, banyak kolega dan wartawan muda hingga organisasi pers tersentak kaget. Rusdi meninggal dunia karena kanker yang dideritanya pada Jumat pagi, 18 Maret 2018 lalu. Dan tentu saja semua orang yang kenal baik dengannya merasa begitu kehilangan, termasuk Nezar Patria.
“Kepergian Rusdi cukup membuat kita semua sedih,” kata Nezar, membuka obrolan hangat itu.
Kesetiaan Pada Angle
Pembahasan kemudian meluncur seputar bagaimana perkenalan Nezar dengan Rusdi pada 2001 ketika mereka bersama-sama bekerja di Majalah Tempo. Saat itu, Rusdi bekerja di bagian Pusat Data Analisa Tempo (PDAT), dibawah asuhan Bambang Bujono, redaktur senior, dan mantan redakur pelaksana di Majalah Tempo.
Nezar mengatakan, apa yang kemudian membentuk sosok Rusdi Mathari hingga dikenal luas sebagai wartawan yang memegang teguh pakem-pakem tradisional dalam menulis erat hubungannya dengan Bambang Bujono. Sebab, orang yang dikenal akrab dengan pangglian Mas Bambu itu secara tak langsung menjadi guru bagi Rusdi.
Rusdi, kata Nezar, banyak menimba ilmu dari sosok tersebut.
“Di situ saya tahu Rusdi belajar banyak dari mas Bambu, seorang figur jurnalis yang memegang pakem-pakem tradisional dalam menulis. Pakem-pakemnya antara lain mutu penulisan dalam jurnalistik itu dinilai dari satu kemampuan deskripsi dan narasi yang mampu kita lakukan dalam reportase,” kata Nezar dengan mimik serius dan menjelaskan seperti itulah tulisan-tulisan Rusdi.
Nezar kemudian melanjutkan, bagaimana pula kemudian Tempo akhirnya membentuk sosok Rusdi hingga dia menjadi begitu kritis terhadap berbagai hal terkait jurnalistik. Itu disebabkan oleh aturan yang berlaku saat itu di Majalah Tempo, di mana akurasi menjadi hal paling utama dalam penulisan berita. Baru kemudian bagaimana membedakan fakta dan opini, dilanjutkan dengan cara bercerita.
“Kalau kita baca tulisan-tulisan Rusdi dalam bukunya berjudul Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam, kita akan melihat bagaimana Rusdi mendemontrasikan pakem jurnalistik itu dalam storytelling,” kata Nezar.
Yang kemudian menjadi menarik adalah, kata Nezar, cara penceritaan seorang Rusdi yang akan terus relevan dalam dunia jurnalistik. Ini disebabkan pula oleh satu faktor bahwa Rusdi adalah kriteria jurnalis yang selalu mendapatkan doktrin bahwa fakta tidak boleh diperkosa atau diutak-atik. Dia selalu mencoba menemukan sesuatu berdasarkan siapa sumbernya.
Jadi kalau kita lihat, kata Nezar, dua contoh bagaimana cara penceritaan Rusdi yang berbeda dengan kebanyakan wartawan lain dalam narasi yang dia buat, misalnya pada paragraf ini:
Ketika sidang usai, Usman benar-benar mendekati Muchdi yang bersiap-siap meninggalkan ruangan sidang. Sebelum Muchdi benar-benar keluar dari ruangan, Usman berdiri di depan Muchdi sambil memajukan tangan kanan ke dada Muchdi. Dan terjadilah keributan kecil itu.
“Dia tak mau menatap saya, tepatnya saya tidak tahu apakah dia menatap saya atau tidak. Karena dia tak melepaskan kaca mata hitamnya.”
“Umumnya para penulis mungkin jika dia ada di lapangan dia langsung menyebutkan bahwa Muchdi yang datang di persidang dengan kacamata hitam, tapi Rusdi tidak melakukan itu. Namun disimpan dan ditunda, lalu dia memakai quote Usman untuk menceritakan detail itu. Dan ini sesuai dengan angle yang dibuat, atau angle yang dipilih oleh Rusdi,” ujar Nezar.
Nezar mengakui, tidak banyak wartawan saat ini yang mempraktekkan teknik kepenulisan seperti sosok Rusdi Mathari. Media-media saat ini, kata Nezar, kadang-kadang dalam satu tulisan memiliki tiga angle bahkan berebutan ada di satu tulisan. Sehingga, tulisan tersebut tidak ada titik fokusnya.
Seharusnya, kata Nezar, tulisan yang baik adalah tetap dengan menggunakan satu angle, dan menggalinya dengan lebih detail.
“Kalau kita membaca buku sejarah hidup Fidel Castro, di situ Gabriel Garcia Marquez pernah menulis satu kesan dia tentang Fidel dengan angle mengapa Fidel kalau berpidato atau berbicara selalu panjang. Lalu dalam kesempatan lain, Gabriel juga selalu mendemontrasikan bagaimana cara Fidel berkomunikasikan dengan orang dan selalu panjang tapi tetap dalam satu angle. Meskipun begitu, Gabriel selalu berhasil menceritakan hal lain tentang sosok Fidel, misalnya pemberontakan yang dilakukan Fidel dan lain sebagainya,” kata Nezar.
Nezar menyakini, kesetiaan Gabriel dalam satu angle juga dapat ditemukan pada setiap tulisan Rusdi. Itu kemudian yang menjadi patokan seorang Rusdi menulis mampu menukis dengan asik dan mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai kalangan. Kesetiaan ini, patut pula menjadi sebuah pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sosok Rusdi Mathari.
Piawai Mendeskripsikan
Selain mengulik terkait angle, Rusdi juga salah satu wartawan yang piawai dalam mendeskripsikan satu tempat. Misalnya, bagaimana seorang Rusdi memiliki kejelian dan kematangan dalam mendemontrasikan sebuah pasar dengan sangat pionis bahkan audio visual sekali.
“Kita seperti masuk ke dalam pasar itu dan mengikuti Rusdi bertemu orang-orang yang belanja, tawar-menawar, deskripsi narasi yang dimainkan menurutku cukup bagus. Mungkin di sini tidak ada yang begitu penting dari sebuah pasar itu, kecuali bahwa kita disadarkan pada satu aktivitas yang sangat bisa jadi humanis, bisa jadi penuh kecurangan dan lain sebagainya di sebuah pasar,” kata Nezar, yang mengaku baru membaca buku itu.
Nezar yakin, buku-buku Rusdi menjadi buku penting bagi dunia jurnalistik. Sebab teknik deskripsi dan narasi dalam buku tersebut akan menjadi dokumen penting jika dibaca pada 15 atau 20 tahun kedepan dalam melihat perkembangan dan suasana Pasar Tradisional pada tahun 2014 di mana buku itu ditulis.
“Jadi, cukup menarik buku ini kedepannya,” ujar Nezar.
Selain itu, sosok Rusdi juga orang yang punya selera humor. Misalnya, dalam salah satu paragraf lainnya dalam tulisannya berjudul Pasar Tradisional sesekali dia menyelipkan anekdot, seperti dibawah ini:
Pria itu mengambil kantong plastik kecil yang sering digunakan untuk membungkus es lilin lalu mengisinya dengan bumbu-bumbu. Dia menyendok bumbu dari empat toples, saya hanya tahu yang berisi kunyit. “Bumbu ungkep kok banyak sekali mas,” tanya saya. “Biar rasanya enak, pak, kan aneka bumbu,” jawabnya.
Lagi-lagi dengan suara yang gemulai, dimirip-miripkan suara perempuan. Matanya mngerling, saya nyengir dan balas mengerling. Lalu saya melihat bumbu ungkep ayam yang dipesan istri ditambah satu sendok.
“Itu humor yang menurutku menarik dan membuat tulisan menjadi lebih enak dibaca. Jadi buku ini menurutku warisan Rusdi buat kawan-kawan untuk belajar menulis jurnalistik, saya kira ini warisan yang berharga,” kata Nezar.
Tak Mengenal Kompromi
Sosok Rusdi juga dikenal luas oleh berbagai kalangan sebagai wartawan yang memegang teguh prinsip. Karena itu pula, dia memiliki kelebihan yang berbeda dari kebanyakan wartawan di masanya hingga saat ini.
Sebagai wartawan dan juga kritikus media, Rusdi punya kesetiaan yang mendalam terhadap kerja jurnalistik. Dia orang yang paling menghormati fakta dan akurasi dalam menyampaikan berita untuk mendobrak semua kecenderungan yang menyalahi prinsip jurnalistik itu sendiri.
“Ya Rusdi itu memang seperti itu. Kelihatannya dia lebih cocok bekerja sendiri dan tidak berada di bawah organisasi media karena dia akan selalu menggungat atau bertanya ataupun merasakan tidak senang kalau dilihat sesuatu itu menurut dia tidak benar,” kata Nezar.
Menurut Nezar, dengan prinsip yang dipegang teguh seorang Rusdi, sebenarnya secara tidak sadar itu adalah kelemahannya, yang akhirnya menjadikaj Rusdi sebagai wartawan yang tidak bisa berkompromi dengan apa yang telah diyakininya sebagai sebuah kebenaran, hingga dia bisa membuktikan bahwa apa yang dianggapnya benar justru salah.
“Dia selalu yakin dengan apa yang dia percayai dan kadang-kadang di situ dia agak keras sampai kemudian dia menemukan fakta-fakta yang menyakinkan dia bahwa apa yang dia percayai itu adalah salah,” ungkap Nezar.
Sebagai pembelajar, Rusdi dikatagorikan oleh Nezar sebagai seorang pembelajar yang tekun dan bersungguh-sungguh. Rusdi juga orang yang cukup teliti membaca naskah dan konsisten dalam menulis.
“Rusdi juga seorang yang cukup asik untuk kita ajak bekerja sama karena dengan Rusdi kita tidak perlu menceritakan secara detail bagaimana sesuatu itu harus ditulis. Cukup menjelaskan angglenya seperti apa, maka dia akan menulis persis seperti yang kita arahkan,” tutup Nezar.
0 Komentar