Tanggapan Idrus bin Harun Terkait Puisi Arakundoe karya Pilo Poly


Pilo Poly hanya mengesankan satu dua suasana tempat kejadian, dan puisinya berlalu begitu saja saat kita baca untuk kepentingan membangkitkan memori masa DOM serta perang setelahnya.



Hingga halaman tengah, baru ada puisi tentang Rumoh Geudong, Arakundo, dan sejumlah puisi lain tentang tragedi pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. 

Tragedi itu telah umum diketahui. Dari jumlah korban, pelaku, dan tanggal kejadian. Bahkan beberapa kasus sudah memvonis eksekutor lapangan dengan penjara. Namun begitu, belum menyentuh siapa pun perencana di ‘tingkat atas’. 

Tingkat atas di sini maksudnya untuk menyatakan sesuatu yang seolah-olah terlalu sulit dijangkau. Dan ada semacam tak enak hati memperkarakan para perencana yang kini membaur (kalau tak ingin disebut berlindung) dalam tubuh kekuasaan padat lemak jenuh. 

Walau tak terlalu bikin merinding diungkapkan oleh penyair, sebagai warga Aceh, saya bisa merasakan pilu jam malam melalui baris: 

“dan kesunyian, naik ke desa-desa. Kemudian merayapi badan-badan kampung. Dengan nyalang keributan.” 

Pilo Poly baru menuliskan puisi Rumoh Geudong ini tahun 2018 di Jakarta. Dua puluh tahun setelah DOM dicabut oleh jenderal Wiranto pada 1998, mungkin ratusan puisi dari penyair lain telah lahir dan tak semua dapat kita nikmati hingga dapat bagi kita membanding-bandingkan baik buruknya. 

Walau, urusan baik buruk sebuah puisi tidak jadi tugas pembaca macam saya. Itu urusan pengulas dan penelaah yang sudah mahfum aneka teori puisi dan segala kerja-kerja membedahnya.

Saya sebagai pembaca yang kebetulan sedang berselera menulis pandangan secara sederhana, tidak dalam posisi sebagai mandor yang mengawasi dan mengevaluasi kerja-kerja penyair.

Baiklah. Bagi sebagian orang, puisi sama sekali tak berarti bagi semua tragedi pelanggaran HAM yang memilukan itu. Bahkan kalau bisa, tragedi masa lalu usah diingat-ingat kembali. Selain ‘memecahkan persatuan’, juga mengorek-ngorek luka lama. 

Sementara itu, ‘luka baru’ terus saja muncul dan tak ada isyarat untuk benar-benar kering sempurna (terutama ‘luka’ akibat perang menjaga sumber pendapatan masing-masing. Dari elit sampai penganggur seperti saya).

Dalam rentang waktu memulihkan luka itu, dan menunggu negara bekerja menegakkan keadilan, penyair menyuguhkan kita puisi yang benar-benar tak mampu kita tafsir, kita gali kedalaman makna, dan menyerap saripati kata-kata sebagai makanan bagi jiwa.

Akan tetapi, bagi sedikit orang, terutama penyuka karya sastra, peran puisi sama penting dengan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR Aceh: sama-sama berupaya menggali ingatan di tengah usaha menimbunnya dengan banyak peristiwa-peristiwa politik lokal yang jenaka; dengan aktor politik yang kurang latihan dan menjemukan.

KKR hingga kini terus berupaya senetral mungkin mendapat informasi korban kekerasan akibat konflik di seluruh Aceh. KKR tak bekerja subjektif dan berusaha menjadi pengamat saja seperti penyair dalam memandang persoalan penistaan hak asasi manusia. 

Kecuali, pada taraf monumentasi tempat kejadian perkara seperti Rumoh Geudong, misalnya.

Upaya mengenang dengan mendirikan penanda kenangan, setara dengan mencipta puisi. Itu pun apabila sungguh-sungguh untuk menghasilkan puisi yang pemilihan kata-katanya tak tergopoh-gopoh ingin segera publis.

Kalau Anda berminat pada sejarah kelam di Aceh, dan berniat berziarah ke sana, datanglah ke Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh.

Di sana, di atas monumen ingatan di luar area Rumoh Geudong, terukir penggalan puisi AA. Manggeng, berbunyi jika dibaca; “jangan kubur kebenaran. bersuaralah! meski tak jadi kata.”

AA. Manggeng adalah penyair Aceh yang komitmen sosialnya lumayan membanggakan.

Puisi, bagaimana pun ia dicipta dengan sungguh-sungguh, tak akan punya nilai guna di mata orang yang kurang suka, atau tak memiliki waktu luang merenung karena semenjak pagi hingga petang tak punya waktu untuk memanjakan diri. Waktu pribadi diserahkan bulat-bulat untuk kepentingan pemberi upah sepanjang pekan.

Walau sebenarnya, puisi dapat dibaca sekaligus ditafsir sembari menghitung laba-rugi perusahaan, jam makan siang kantor, rapat pemilik saham, dan atau, sesaat setelah memberi laporan pada atasan. 

Makanya, puisi diterbitkan untuk kemudian dibaca dan dianalisis oleh lingkaran penyuka sastra saja. Pada tahap ini, kerja menulis puisi tak lebih sebagai adegan gagah-gagahan semata. Kalau tidak untuk terlihat lebih berbudaya dari kerumunan orang awam.

Puisi yang ditulis Pilo Poly, tak terlalu banyak dilumuri kata kunci yang memeras pikiran untuk ditafsir sebagaimana ahli nujum menafsir mimpi raja zolim.

Pilo Poly hanya mengesankan satu dua suasana tempat kejadian, dan puisinya berlalu begitu saja saat kita baca untuk kepentingan membangkitkan memori masa DOM serta perang setelahnya.

Di sini, saya tidak sedang menulis esai tata laksana menulis puisi yang baik dan benar. Saya sedang menyelamatkan diri dari membaca puisi yang ditulis sekenanya saja tanpa ada minat dari penyair untuk menggali fakta yang jarang diketahui khalayak, untuk kemudian disajikan dalam puisi.

Namun begitu, puisi Pilo Poly tentang masa lalu dan kekerasan di Aceh, layak mendapat tempat di rak buku kita. Selain untuk menambah koleksi buku, juga untuk membiasakan pikiran berziarah pada lampau yang sudah semakin jauh jaraknya.

Apalagi dalam kondisi sekarang di mana politikus batat mengajak kita terus-menerus menggapai masa depan. Padahal, mereka saja “ladat” dengan birahi paling purba; berkuasa penuh atas mulut dan pikiran orang banyak. 

Phak!

Posting Komentar

0 Komentar