Di sepanjang
Jalan Banda Aceh-Medan,
Kucari kembali pinggang yang sakit,
dan pipi lebam oleh konflik.
Meski kubuka tirai masa kini,
Tapi sering pula suara nyeri
menangis
Di punggung masa lalu.
Dia serupa menoleh lagi,
tapi tak pernah sampai pada
Kata damai dalam dirinya,
ribut seperti ombak
Sepanjang tahun.
Di luar, dusun dan rumah
meski tak terdengar lagi
suara jerit siksa, namun
Ada juga sunyi sesekali datang,
Yakni rasa sakit menempel di
dinding ingatan. Ia tumbuh
dan mekar saban tahun
sebab tak pernah air dini hari
menyiram dadanya
Yang kerontang.
Negara tidak ada di sini, kecuali
Suara retorika dalam televisi.
Perdamaian hanya untuk
segelintir elit, namun Korban
terus terpinggirkan jauh Dari
rekonsiliasi: psikologi, harta, nyawa,
Kehancuran, pembakaran,
penghilangan paksa
Penuh dengan busa kebohongan.
Tragedi Rumoeh Geudong,
Beutong Ateuh, Simpang KKA,
Buket Tengkorak, Jambo Keupok,
KNPI Lhoksumawe,
Exxon Mobil, Bumi Flora,
Pos Pinto Sa Tiro,
Tragedi Timang Gajah,
sebatas seremonial
doa saban tahun, sedang korban
melangkah dengan perih
meminggul masa lalu
dengan berat.
Di kamar ini: mereka hidup,
bagai lampu jalan raya.
Bagai gedung-gedung
tinggi, namun
dari bawah mereka
menatapnya ke atas dengan
masa depan suram.
Perdamaian
telah basi dalam
dada dan air mata
mereka sejak seseorang pergi,
diculik, dibunuh,
dan diperkosa,
dan ditembak oleh
Serdadu kiriman
Ibukota!
Hukum, hukum hukum!
Tumpul, tumpul, tumpul!
*MoU Helsinki adalah perjanjian damai antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ilustrasi: Ayu Arista Murti